42. Aku bertanya-tanya, mengapa bait kasih kita tak kunjung senada?

15.2K 2.7K 506
                                    

42. Aku bertanya-tanya, mengapa bait kasih kita tak kunjung senada?











Wanita itu tak henti mondar-mandir di ruang tengah, sesekali melongokkan kepala ke lantai atas, gatal ingin mengintip ke kamar anak dan menantunya, jika saja sang suami tak mendelik mengawasinya sejak tadi.

"Mau apa kamu?" tanya Teddy tiap kali kakinya baru menyentuh anak tangga. Pria itu menyipit penuh peringatan, tak bosan-bosan menegur. "Jangan sembarangan di rumah orang."

"Rumah orang? Ini rumah anakku," bantahnya.

"Ya anakmu itu orang, bukan pajangan pintu."

"Ya memang anakku orang, kalau kamu mau beranak pajangan pintu ya terserah, Ayah."

Rastianti Wallen terkekeh, sedang Ilias Wallen geleng-geleng pelan.

"Kok nggak turun-turun ya, mereka?" tanya Adel penasaran, tak tahan ingin tahu segalanya. Mendadak seringai nakal tercetak di bibirnya kala bergumam. "Apa jangan-jangan mereka lanjut babak kedua di atas sana?"

"Adelina, stop!" gersah Teddy serius, mulai tak nyaman membayangkan ada lelaki yang tengah menggerayangi putrinya di kamar. Ya meski lelaki itu menantunya sendiri, tetap saja rasanya ... canggung sekali. Apalagi mereka semua baru saja memergoki kegiatan sepasang anak muda itu di sofa tadi.

"Meh," decih Adel remeh. "Jealous," cibirnya menanggapi wajah sengak sang suami. "Bukannya seneng rumah tangga anaknya normal."

Teddy memijit kening sambil menundukkan kepala, sulit membalas gerutuan istrinya. Ia bukannya tak suka anaknya bahagia, hanya saja sebagai seorang Ayah ... begitu lah. Di matanya, jangankan Genawa. Teresa yang jelas-jelas sudah mengandung saja masih tampak macam bocah yang hobi lari-larian membawa sekantong permen sepulang sekolah. Apalagi Genawa. Anak itu bahkan masih merengek-rengek padanya lima hari lalu lewat panggilan telpon, minta dibelikan tas baru meski Teddy cukup yakin tabungan anaknya pribadi sudah lebih dari cukup untuk memborong seperempat isi toko tas yang ia mau. Sisi kebapakannya hanya sedang merasa sedikit terguncang usai melihat menantunya melakukan hal seperti tadi pada sang putri.

Berbanding terbalik dengan Teddy, Ilias Wallen justru kelihatan gembira sekali usai jadi saksi perbuatan Remi yang menurut Teddy tercela. Barangkali karena ia dari pihak lelaki, Ilias tidak tahu betapa sulit membesarkan anak perempuan dan kini melihatnya diambil orang. Ilias tak mengerti perasaannya.

Pria berumur itu malah tergelak, menyilangkan kaki di kursi dengan santainya. Ia menanggapi kalimat Adel dengan tampang lega yang tak bisa disembunyikan. "Kita semua bisa tenang sekarang. Melihat mereka seperti tadi, aku rasa gosip-gosip di luar sana memang benar mengada-ada."

Rasti manggut-manggut menambahi. "Sudah kubilang, Dad. Awa juga pernah bicara hal yang sama waktu Daddy sakit. Dia bilang, selama berita itu tidak muncul dari mereka berdua, jangan pernah percaya."

"Mungkin aku memang sudah terlalu tua untuk memahami hal-hal yang begini," gumam pria itu lagi dengan senyum tipis. "Anak-anak harmonis, ya sudah. Itu saja sudah membuatku lega."

Rastianti Wallen menjawabnya dengan senyum manis. "Aku optimis tahun depan sudah ada bayi di sini," bisiknya, membuat sang suami makin melambung dalam angan-angan besar.

Bibir pria itu melengkung dan ia bertanya. "Begitu?"

Rasti mengangguk pelan dan si suami pun terbahak penuh harapan.

"Mumpung aku masih hidup," katanya, menepuk pahanya sendiri, berkilat semangat. "Kuharap aku bisa melihat minimal satu dari anak mereka lahir ke dunia."

Adel yang mendengarnya lantas berdecak. Menatap sang besan dengan raut tak terima. "Jangan cuma satu dong, Mas!" protesnya. "Mas Ilias harus sehat terus supaya bisa lihat semua cucu kita lahir sampai mereka tumbuh besar!" katanya penuh keoptimisan. Bibir ibu-ibu satu itu menyeringai lagi usai membahas perihal cucu. Tatapan penasarannya tak bisa disembunyikan. Terang-terangan ia kembali melangkah mendekati anak tangga, melongokkan lagi kepalanya ke atas sana seraya berkata. "Apa kita naik aja ya, Yah?"

Di ujung nanti, mari jatuh hatiحيث تعيش القصص. اكتشف الآن