31. Agar dapat kututup celah dukamu

12.6K 2.5K 425
                                    

31. Agar dapat kututup celah dukamu










"Lo udah nggak perlu cuti lagi di tanggal ulang tahunnya Renatta kan, Rem?"

Ia menggeleng, membiarkan Melia melepas clip on yang menempel di dada seraya berujar. "Ganti di tanggal ulang tahun Genawa aja, Mbak. Gue mau cuti di tanggal ulangtahun dia."

Seperti sudah mengendus niatnya, Melia hanya mengulum senyum penuh arti seraya bergumam. "Genawa aja syuting loh di tanggal ulangtahunnya nanti?"

"Nggak apa-apa. Gue bisa ngikutin dia seharian," jawabnya, tersenyum tipis tanpa sungkan. "Gue nggak perlu jelasin, lo pasti tahu gue dengan baik kan, Mbak?"

Melia mengernyitkan hidung, manggut-manggut samar sambil menepuk pelan pipinya. "Selama lo happy," katanya tulus. "Gue nggak pernah nggak dukung lo."

"Nggak apa-apa kalau Genawa?"

Melia mengangguk. "Selama lo happy, Remi," ulangnya.

Lima bulan menikah, dan ini mungkin kali pertama ia seterus-terang itu pada Melia. Dulu-dulu ia masih malu untuk mengaku. Tapi akhir-akhir ini Remi rasa tak akan ada gunanya mengelak, toh diakui atau tidak, orang-orang terdekatnya pasti sudah sadar mengenai haluannya yang berubah pada Genawa. Melia tak pernah bertanya. Tapi perempuan itu paling memahaminya.

"Lo nggak pernah nanya, Mbak." Remi menarik kursi lipat untuk Melia duduki, sedang ia berjongkok di depan sang manajer yang terkekeh pelan. "Kenapa nggak nanya?"

"Karena gue nggak mau menginterupsi waktu lo berpikir," jawabnya. "Gue tahu pasti nggak gampang buat lo meyakinkan diri sendiri. Jadi gue putusin buat nunggu aja. Gue tahu lo pasti bakal ngomong sendiri," tanggapi Melia santai. "Kayak sekarang."

"Gue pikir lo bakal marah."

"Marah kenapa?"

"Karena gue berjalan nggak sesuai sama kontrak?" ujarnya ragu.

Melia terkekeh. "Gue emang kaget pas awal-awal, tapi nggak marah. Cuma agak ... eh!, gitu doang," akunya. "Tapi gue ngerti, kok. Udah gue bilang kan, Rem? Nggak baik terlalu benci sama orang, ujung-ujungnya ya begini. Elo sih nggak pernah dengerin gue dulu."

Remi mendongak, mengulum senyum sambil manggut-manggut, mengaku salah. "Maaf ya, Mbak."

Untungnya ruang khusus itu kosong. Teman-temannya sedang berpencar entah ke mana usai manggung. Hanya ada ia dan Melia di dalam ruangan malam itu. Jadi, ia punya banyak waktu untuk bicara.

"Dia baik, Mbak," katanya, entah kenapa ia merasa perlu membela Genawa meski ia tahu, Melia tak mungkin berpikiran seburuk itu.

"Gue tahu. Dia emang anak yang baik," angguk Melia, mengusap lembut kepalanya. "Lo juga baik. Kalian sama baiknya, gue cuma bisa doain yang terbaik aja," ujarnya. "Udah sejauh mana, Rem?"

"Masih ... proses," akunya. "Gue masih usaha. Anaknya masih belum luluh. Doain ya, Mbak."

Dua bulan terakhir semuanya baik-baik saja. Harvey tak muncul lagi dan Genawa cukup patuh untuk mengikuti perintah agar tak mendekat. Hubungannya dengan Genawa makin hangat dan banyak perkembangan. Sekarang, Remi sudah berani mencium Genawa tanpa harus menunggunya tidur. Meski Genawa tak jarang menolaknya juga. Yang penting Remi sudah lebih terang menunjukkan rasa.

"Kontrak acara tivi bulan depan habis. Gimana? Mau diperpanjang apa udahan aja?"

Ia menggeleng. "Nggak mau lagi," katanya. "Gue mau punya lebih banyak waktu pribadi di rumah sama Genawa. Jangan ada kru mondar-mandir lagi, gue jadi kurang bebas mau ngapa-ngapain."

Di ujung nanti, mari jatuh hatiWhere stories live. Discover now