22. Ialah sekeping duka, yang coba berbaur dalam nada

11.5K 2.3K 605
                                    

22. Ialah sekeping duka, yang coba berbaur dalam nada












"Kamu udah enakan betul?"

Remi lihat sang istri manggut-manggut, memeluk ibu dan ayahnya bergantian lalu menggandeng mereka masuk ke rumah, sok rajin berlarian ke pantry, mengambil cemilan dan minuman yang sejatinya semua itu hasil dari ia membabukan Remi berjam-jam tadi. Mandor proyek internasional saja kalah bossy-nya dari Genawa kalau sudah menyangkut perintah memerintah. Barangkali darah raja kuno mengalir di nadinya atau apa, tapi Genawa betulan mahir menyuruh-nyuruh orang. Kerjaannya ongkang-ongkang kaki, sekalinya bergerak menumpahkan kopi selantai hingga Remi harus ngepel ulang. Memang benar firasatnya, Teddy Stiglich ini sengaja sekali membesarkan putrinya sebagai permaisuri, apa-apa tak bisa, membuat rusuh saja keberadaannya.

Pantas saat menikah dulu, sang mertua membisikinya kalimat, "Terimakasih, sekarang beban saya tinggal satu. Semoga kamu diberi kesabaran yang besar untuk membimbing istrimu mulai hari ini. Terima semua buruknya, kalau ada baik-baiknya mungkin kamu salah lihat, karena sejauh ini saya belum pernah menemukan kebaikan di anak saya. Adanya cuma begitu, tolong terima." Saat menyerahkan Genawa padanya.

Rupanya benar, Genawa ini isinya buruk semua!

Tapi ... Remi tidak apa-apa, sih. Maksudnya ... ya nggak apa-apa. Karena sudah terlanjur dan ... ah, sudah lah. Pokoknya nggak apa-apa.

"Aku nggak bisa masak, Mam. Ini tadi semuanya delivery. Kalau minumnya yang bikin Mas Remi."

Bagusnya, Genawa ini termasuk jujur anaknya. Tak suka cari muka, sukanya cuma cari gara-gara.  Dibalik tampang tengilnya yang suka sok paham, ia tipe yang apa adanya. Selama tidak dipancing atau ditekan, anak ini tak akan banyak tingkah.

"Tadi aku nyoba nyuci sayur buat kita bikin salad, tapi sama Mas Remi dimarahin. Soalnya sayurannya aku cuci pakai Mamaleci."

Remi manggut-manggut sendiri. Benar. Genawa memang jujur sekali. Saking jujurnya, sang istri seringkali kelihatan bodohnya.

"Nggak apa-apa kalau sekarang belum bisa. Biar Remi dulu yang kerjakan. Nanti pasti ada masanya kamu penasaran mau belajar masak tanpa disuruh, kok. Santai saja."

Untung sang Ibu bukan jenis mertua-mertua antagonis yang akan menyerang kelemahan menantunya. Alih-alih keberatan mendengar kekurangan Genawa yang menumpuk, sang ibu justru tampak legowo dan suportif sekali. Remi lega. Setidaknya ia tak perlu melihat drama menantu dan mertua di kediamannya.

"Kalian nyuci sendiri, kan?"

Genawa geleng-geleng. "Kita laundry, diambil sama mbaknya empat hari sekali. Cuma dalaman aja yang kucuci sendiri."

Ibunya mengangguk lagi. "Seenggaknya kamu masih mau nyuci baju dalammu. Bagus."

Sungguh, Ibunya ini berpikiran positif sekali. Apabila ibunya sama dengan mertua-mertua pada umumnya, Remi yakin, sang istri pasti langsung habis dikuliti. Memang hoki betul Genawa ini.

Di mata Remi, kunjungan kedua orangtuanya malam itu sangat bisa ditebak tujuannya. Sepanjang mereka makan, Ibunya selalu membahas mengenai 'dokter kandungan ini bagus, dokter anak yang itu juga bagus' sedang ayahnya tipis-tipis memberi kode mengenai inginnya ia segera punya cucu. Segala membahas teman-teman seusianya yang tiba-tiba mati juga.

"Aku masih ada kontrak brand sampai enam bulan ke depan, Dad. Nggak boleh hamil, nanti kena penalti," jawab si istri, paling pintar membantah. Ia mengunyah buah anggur sambil nyengir, melirik Remi sambil mengedip-ngedipkan mata seolah berkata 'serahkan urusan ini ke gue, pasti beres' lantas meneruskan. "Sabar, ya. Daddy umurnya pasti panjang kok, asal jangan sering-sering ngobrol sama Mas Remi aja."

Di ujung nanti, mari jatuh hatiWhere stories live. Discover now