33. Hingga terbakar kita dalam gelora

13.9K 2.4K 439
                                    

33. Hingga terbakar kita dalam gelora














Sudah lama sejak terakhir kali mimpi itu muncul. Mencemari tidurnya dengan perasaan ditinggal dan gelisah yang besar. Ia terbangun dalam posisi berjingkat, mengerjap-ngerjap diantara temaram kamar sambil meraba-raba tempat di sisinya yang kosong. Bergumam resah, mencari-cari sesosok manusia yang tak ada di sana.

"Rem ... Remi ..." desah napasnya masih putus-putus, suaranya mencicit lirih, seolah akan hilang segera. "Remiii ..." rengeknya, mengerjap gundah. Ketakutan mencuat di dada hingga ia teringat ... Oh, ya. Remi memang tak tidur bersamanya dua malam terakhir ini. Ia sendiri yang mengusir sang suami dari sisinya.

Gadis itu terduduk, melirik pada sofa kamar yang juga kosong, lantas melompat turun dari kasur dengan tergesa. Ia lupa tak mengenakan sendal bulunya, kaki-kakinya telanjang berlarian keluar kamar.  Matanya basah bekas tangis dalam tidurnya barusan dan bibirnya masih melengkung turun dengan sendu.

Ketakutan itu makin erat mendekap kala tak ia dapati siapa-siapa di sofa bawah. Langkahnya kembali menaiki tangga, rungsing bunyinya. Mengisi sunyinya dini hari yang lengang. Tak ia hiraukan gaun tipisnya yang berkibar selagi ia berlari. Tubuhnya memang dingin, tapi hatinya lebih dingin lagi. Ia terengah dalam perasaan hampa, masih mencari-cari.

Baru akan menuruni tangga lagi ketika ia lihat samar-samar lampu studio kecil menyala. Ia mengerjap, putar badan segera menghampiri tempat itu. Suara petikan gitar samar-samar terdengar dan saat itu lah setitik kelegaan mulai hidup di dadanya.

Genawa memacu langkahnya untuk berlari. Seolah mengejar nyawanya yang sudah akan hilang sebentar lagi, ia meringsek masuk usai mendorong pintu yang tak terkunci itu secepat kilat. Barangkali ia lupa mengetuk tadi, sebab ketika pintu itu terjeblak, ia temukan sang suami yang duduk anteng di sofa sambil memangku gitar dan alat tulis itu berjengit kaget. Lelaki itu mengerjap melihat kemunculannya yang tiba-tiba, yang berlari dengan gelisah bertumpuk di mimik mukanya, serta merta melompat naik ke pangkuan menggantikan gitar yang baru saja Remi singkirkan demi menyambut tubuhnya.

"Remiii,"

Ia sesenggukan, entah menangisi apa. Nyawanya belum terkumpul sempurna. Tapi ia lega mendapati Remi ada di sekitarnya. Saking leganya ia tersedu dalam tangis yang ia sendiri tak tahu apa artinya. Ia takut sekali tadi. Ia merasa semua orang meninggalkannya kala bangun dan tak mendapati siapa-siapa. Ketakutan itu masih mengintipnya, karena itu ia peluk Remi sedemikian erat kini.

"Kenapa?" bisik Remi lembut, mengusap-usap punggung dengan telapak tangan. Jemarinya membelai dibalik kain tipis yang ia kenakan, hangat berulang. "Mimpi jelek lagi?" tanyanya, menyibak rambut panjangnya guna mengecupi pundak. Menggumam kalimat menenangkan seperti biasa. "Nggak apa-apa. Cuma mimpi."

Ia mengangguk samar. Merengek diantara kantuk yang masih menggumpal di kepala. "Jangan tinggalin sendiri. Nggak suka."

"Enggak. Nggak ditinggal, nggak akan ke mana-mana," sahut si suami pelan. Mengeratkan pelukan hingga degup jantungnya yang tadi berpacu gila kini kembali ke ritme awalnya.

Ketegangan Genawa perlahan menguap. Usapan hangat jemari Remi di pinggang hingga punggung, kecup-kecup bibirnya di pundak serta tengkuk, dan suara si suami yang bergumam menenangkan membuat resah di dadanya mendadak raib entah ke mana.

Ia tahu itu. Selagi ada Remi di sisinya, ia tahu akan baik-baik saja. Biasanya begitu.

Tubuhnya rileks dalam dekapan Remi. Ia naik makin tinggi ke pangkuan, mengalungkan kedua lengan di leher dan menjatuhkan kepala di pundak sang suami. Membiarkan lelaki itu membenamkan hidung di bahunya sedang ia kembali terpejam. Coba merangkai ulang tidurnya yang tak tenang. Merayu mimpi-mimpi baik agar datang bersambang.

Di ujung nanti, mari jatuh hatiWhere stories live. Discover now