38. Kau punyaku kini, nanti dan seterusnya

14.9K 2.6K 319
                                    

38. Kau punyaku kini, nanti dan seterusnya

















Sebelum Tere menikah, Bunda banyak sekali bicara mengenai esensi cinta dan pernikahan pada mereka. Sebetulnya, bukan untuk Nawa, sih. Pada saat itu, lebih tepatnya Bunda sibuk menceramahi Teresa karena bocah itu punya sedikit masalah dengan interpretasinya terhadap pernikahan. Mereka bicara sangat lama, ngobrol dari hati ke hati di atas ranjang sedang ia sibuk ngemil kentang goreng di pojok sofa. Meski begitu, Nawa masih ingat sedikit-sedikit, soal apa saja yang Bunda katakan.

Bunda bilang pada Teresa, bahwa pernikahan bukan berarti kita akan berakhir bahagia selama-lamanya dengan seseorang. Bukan Bunda berdoa jelek, hanya saja jaga-jaga. Kita juga bisa saja salah memilih pasangan. Namanya takdir tak ada yang tahu, semua itu rencana Tuhan. Sebagai manusia kita hanya bisa berusaha sebaik mungkin dan menjalani sisanya dengan penuh rasa penerimaan.

Menikah bagi seorang perempuan biasanya diidentikkan dengan pengabdian seumur hidup, tapi dalam prinsip yang Bunda ajarkan tak demikian. Perempuan bukan makhluk yang kerjaannya harus tabah tiap hari menghadapi tingkah polah suami. Istri harus sabar, itu benar. Tapi bukan berarti sabar itu tak ada limitnya hingga kita bisa dengan mudah diinjak-injak. Suami harus dihormati itu betul sekali, tapi bukan berarti dalam prosesnya kita harus kehilangan penghormatan terhadap diri sendiri karena terlalu sibuk membenarkan perilaku-perilaku yang salah. Semua harus ada porsinya. Jika sekali suami melenceng, ingatkan. Dua kali keluar jalur lagi, tegur. Tiga kali diulangi, marahi. Keempat dan kelima kali, kata Bunda langsung saja tendang selakangannya, biar sekalian kerajaan masa depan mereka hancur berantakan. Ndableg, tuman. Diberi kesempatan tak mau mengerti.

Remi bergidik saat ia mengatakan prinsip Bunda barusan lantang-lantang. Dengan wajah ngeri lelaki itu bergumam. "Untung aku bukan suami Bunda," sambil menatapnya.

Kata Bunda lagi, cinta itu perlu dipelihara. Karena kalau cuma cinta sekali dan dibiarkan begitu saja, sudah tentu cinta itu akan mati.
Sebab sebagaimana proses hidup manusia yang terus berkembang, yang ada di dalam hati juga senantiasa berubah. Perasaan manusia tidak lah tetap. Cinta dan benci, sayang dan sebal, rindu dan muak, mereka bisa kita rasakan pada satu orang secara berganti-gantian. Ketika mencintai seseorang, bukan berarti kita tak akan pernah membencinya. Jika kita sayang, maka pasti ada masa di mana kita sebal padanya. Dan apabila kita menyimpan rindu, tak menutup kemungkinan suatu hari kita akan muak pada orang yang sama. Semua perasaan itu saling terhubung dan mustahil dipisah. Perasaan manusia bisa berubah kapan saja tanpa kita duga.

"Itu bener," gumam Remi membalas perkataannya. "Yang dibilang Bunda bener. Perasaan manusia memang bukan sesuatu yang terus menerus sama."

"Rasa sayang juga?" tanyanya.

"Rasa sayang juga," jawab si suami membenarkan. "Bahkan itu juga berlaku buat rasa cinta. Nggak ada satu perasaan pun di dunia ini yang bisa menetap di hati manusia kecuali pemiliknya rajin memupuk perasaan itu tiap hari."

"Yang saling cinta bisa saling benci, dong?"

"Yang saling benci juga bisa saling cinta," balas Remi, sibuk memainkan rambutnya.

"Sama kayak Ayah ke Bunda," gumamnya, meringkuk di pelukan Remi ketika lelaki itu menarik tubuhnya lebih rekat. "Ayah dulu benci sama Bunda."

"Kelihatannya malah ... Ayah yang cinta setengah mati sama Bunda," bantah Remi, tampak yakin dengan perkataannya. "Aku belum pernah lihat Ayah natap Bunda kecuali matanya penuh cinta."

"Itu kan sekarang. Dulu beda."

"Oh ya?"

Ia mengiyakan.

Seperti biasa, kamar tidur dan situasi remang-remang, beberapa waktu menuju jam tidur selalu jadi saat-saat paling tepat bagi mereka untuk berbincang.

Tahu kenapa?

Di ujung nanti, mari jatuh hatiHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin