21. Sebab telah lama puing berserak di matanya

14.4K 2.4K 533
                                    

21. Sebab telah lama puing berserak di matanya













"Genawa Maestraloka,"

Ia baru akan melayang dalam tidur ketika kasur yang ia tempati bergerak perlahan, disusul suara Remi yang lirih memanggil.

"Maestraloka Genawa Stiglich,"

Nawa pikir ia berkhayal karena biasanya, Remi tak pernah selembut itu menyebut namanya. Ia pasti sedang ditipu ilusi, Nawa yakin sekali. Jika tidak, mana mungkin Remi menyentuh kepalanya seperti ini?

"Ge?"

"H-hng ..." gumamnya antara sadar tak sadar. Matanya berat sekali dibuka sebab elusan hangat di keningnya bekerja bagai obat tidur paling manjur, mengayun-ayunkan kesadarannya dalam lelap yang dalam, mencegahnya terjaga.

"Tidur?" tanya suara itu lagi, masih dengan elusan lembut di dahi yang tak kunjung berhenti. "Sorry, Mam. Istriku udah tidur. Dia nggak enak badan beberapa hari ini. Enggak, sekarang udah lumayan. Mami bisa nanya anaknya langsung besok, ya. Iya, datang aja, kita free kok."

Suara Remi makin lama makin pergi, berganti dengan suara lain yang kini kental terdengar, mengisi mimpi pertama yang menyambanginya begitu jatuh dalam tidur. Mimpi itu selalu datang tiap kali ia sakit. Seperti mimpi jatuh dari ketinggian ketika ia demam, mimpi itu juga tak pernah absen muncul di malam-malam usai ia kambuh. Sebuah mimpi yang buruk, namun ia rindukan dengan sangat setiap saat.








"Sayang, nggak gini cara ngitungnya. Ya ampun, kamu ini."

"Aku nggak ngertiii. Angkanya beda."

"Makanya hafalin rumusnya, jangan hafalin angkanya. Rumusnya, Genawa. Rumusnya. Jangan nangis, dong. Masak belajar sambil nangis?"

"Aku nggak bisaaaa."

"Bisa. Kamu pinter, kamu pasti bisa."

"Susah. Nggak bisa, kepalaku panas kayak mau meledak."

"Kamu baru pegang buku lima menit, Genawa. Nggak mungkin udah capek."

"Tapi sakit banget, kepalaku kayak mau lepas kalau dibuat ngitung. Aku takut nggak punya kepalaaa."

"Enggak, Sayang. Kepalamu nggak kenapa-kenapa. Aku pegangin. Nggak apa-apa, kan? Lihat lagi bukunya, ya?"

"Hik ... Nggak ngertiii ..."

"Makanya lihat bukumu, jangan lihat aku melulu. Mukaku nggak bisa bikin nilaimu bagus. Lihat ini, naah, lihat. Bukan melotot, lihat aja lihat, nanti mata kamu pedes kalau gitu. Kedip! Hei, kedip. Astaga Tuhan, Genawaa."










"Aku ... nggak bisa."

"Hm?"

"Nggak bisa ..."

"Apa yang nggak bisa?"











"Bundaku dulu nikahnya masih muda banget. Tapi nggak langsung punya aku, nunggu empat tahun dulu. Aku rasa kita juga bisa gitu. Sambil nunggu kamu mapan, aku akan dirumah, nemenin kamu belajar, nemenin kamu tidur, nemenin kamu makan, nemenin kamu nyuci, pokoknya nemenin kamu semua-muanya."

"Jadi cita-citamu cuma mau nemenin aku aja?"

"Iyaa! Terus nanti, kalau kamu udah kaya, baru kita punya anak lima."

Di ujung nanti, mari jatuh hatiWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu