RoMH 22 - Xavier POV

1.7K 127 1
                                    

PLAK!!

"KAU BERANI MENENTANGKU?!" teriakanku menggema keras di dalam ruangan pengap dan remang ini.

Di hadapanku, ada seorang wanita dengan pakaian compang-camping karena cambukan dariku. Tubuhnya berada di atas kursi penyiksaan yang kusediakan. Tidak ada bagian tubuhnya yang tidak terluka. Tangan, kaki, wajah dan perut. Semua terdapat luka dan semuanya berdarah.

Itu adalah keadaan Ariel saat pertama kali aku bertemu dengannya.

Wajah Ariel sudah pucat, matanya juga terlihat kosong, belum lagi dengan napasnya yang berembus terputus-putus seolah sedang sekarat.

Tapi, wanita ini bodoh.

Wanita ini terlalu bodoh.

Saat dia mengajukan diri untuk kuculik.

Saat dia menerima segala penyiksaan dariku.

Dan saat dia menahan suaminya agar tidak datang menyelamatkannya.

Aku tidak pernah melihat wanita sebodoh ini. Suaminya bahkan tidak peduli sama sekali terhadapnya.

Aku mencengkeram kedua pipinya dengan kasar, menghadapkan wajahnya yang pucat itu kepadaku. "Suamimu bahkan tidak peduli padamu. Untuk apa kau menyelamatkan seseorang yang hanya menganggapmu seonggok sampah?!"

Ariel tidak menjawab. Hanya napasnya yang terputus yang menjawab ujaran kebencianku.

Kekesalanku memuncak melihat wanita munafik yang mencoba untuk menahan metode penyiksaanku. Aku menggeram, mengetatkan rahangku dan berdecih saat tetap tidak mendapatkan jawaban. Aku membanting wajahnya dengan kasar, mengambil air garam yang kusiapkan untuk metode penyiksaanku.

Mata yang tadinya terlihat hampa, kali ini menyorot dengan was-was. Melihat reaksi itu, aku tersenyum miring dan menyiram semua lukanya yang menganga secara perlahan.

Ariel menarik napas terkejut, menggeram menahan sakit namun saat air garam itu mengenai jari kakinya yang tanpa kuku, tubuh Ariel gemetar dan tidak bisa menahan teriakannya. "Ngh—akh—ARGH!! SAKIT!! SAKIT!! SAKIT!!" teriaknya memenuhi ruangan.

Aku tersenyum miring melihatnya yang terisak dan mengerutkan tubuhnya yang terikat seolah mencoba meraih jari kakinya.

Aku membuang mangkuk garam yang sudah kosong itu ke ujung ruangan.

PLAK!!

Untuk ke sekian kalinya, aku menampar pipinya dengan kuat, membuat ujung bibirnya berdarah.

Dia sudah babak belur dan penuh dengan keringat. Aku yakin tubuhnya tidak bisa menerima siksaan lagi. Tapi kenapa dia tetap bertahan?

Aku meraih wajahnya kembali, menghadapkan wajah penuh air mata dan darah itu ke hadapanku. "Itulah sebabnya. Kau seharusnya menurutiku, sialan."

Mata Ariel yang tadinya tertutup itu terbuka, menampakkan iris hitamnya yang penuh dengan air mata dan juga kesedihan. "Kalau begitu ... seharusnya ... kau membunuhku saja ...." Ariel mengucapkan setiap kata dengan susah payah. Bibirnya tiba-tiba melengkung tersenyum sementara air matanya terus mengalir. "Karena aku tidak akan membuat Erick datang atau membiarkanmu membunuh Erick."

Berbeda dengan ucapannya yang meminta kematian, kalimat yang dia katakan di akhir sangat lancar dan tidak terbata-bata.

Aku menelan ludahku dengan susah payah melihat keteguhan di antara rasa sakit di matanya. Mataku memincing, menatapnya dengan pandangan mencela. "Penyiksaan dari suamimu terhadapmu sudah menjadi rahasia umum di kalangan atas. Kenapa kau sangat membela badjingan itu?"

Ariel tidak menjawab pertanyaanku. Hanya napasnya yang lemah yang terdengar.

"Apa kau yakin mempertaruhkan hidupmu untuknya? Tiga tahun pernikahan, dan kau tetap dianggap boneka yang bisa dia hancurkan sesuka hati."

Rebirth of My Husband [Kelahiran Kembali Suamiku]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang