38. Pelukan

677 33 0
                                    

Bismillahirrahmanirrahim...

Assalamualaikum halo semuanya!!!

Apa kabar?

Tandai kalau ada yg typo yaaa!

Happy Reading ❤️


Sepanjang perjalanan menuju rumah, aku terus menangis dalam pelukan bunda. Sampai di rumah pun, aku masih saja terisak.

“Kenapa omongan ibu jahat banget ke aku?” Tuturku pelan kala tangisanku mulai mereda.

“Sabar ya, nak.” Ujar bundaku seraya mengusap-usap punggungku.

“Kita doakan yang terbaik untuk ibu, ya, semoga ibunya Isya cepat bertobat dan tidak berucap jahat lagi.” Tambah umi.

Aku hanya terdiam seraya sesekali menganggukkan kepalaku kala bunda dan Umi berusaha menenangkanku yang sedang sakit hati karena perkataan ibuku yang memang begitu nyelekit.

**

Bunda dan Umi baru pamit pulang saat Ashar sudah kembali dari kampusnya. Setelah kepulangan umi dan bunda, lantas saja aku mengadukan semuanya pada suamiku. Mengutamakan isi hatiku yang sedang sakit.

Aku memeluk Ashar dengan begitu erat sambil bercerita. Ashar membalas pelukanku seraya tangannya fokus membelai rambutku.

“Katanya ada pasar malam di dekat rumah biasa, Luv, nanti malam kita ke sana, yuk!” papar Ashar setelah tadi terus berusaha menenangkanku. Biar kutebak, ajakan yang ini pun pastinya merupakan salah satu caranya agar aku tidak bersedih.

“Ayo.” Balasku sembari mempererat pelukanku.

“Kamu masih sedih, luv?” Tanya Ashar tepat pada saat aku mempererat pelukanku.

“Kalau di tanya masih sedih, tentunya sedih banget. Kalau tanya kecewa, ya pasti kecewa. Soalnya aku enggak habis pikir, ibu bisa-bisanya ngomong gitu ke aku Cuma karena aku enggak bisa ngasih pinjaman ke beliau.” Timpalku, kembali mengutarakan isi hatiku.

“Kita doakan ibu semoga segera bertobat, ya. Mungkin aja, beliau ngucap kayak begitu karena lagi stres ke lilit utang. Kita doakan juga supaya utang ibu cepat lunas. Kita harus selalu berprasangka baik.” Ujar Ashar yang membuatku lagi-lagi mempererat pelukan kami.

“Tapi, kalau misalnya aku beneran enggak bisa punya anak gimana? Kamu jangan poligami, ya? Aku enggak sanggup. Kalau memang kamu pengen punya anak sementara aku enggak bisa ngasih, terus kamu ada niatan nikah lagi, tolong ceraiin aku dulu, jangan di poligami.” Air mataku kembali mengalir begitu saja saat kemungkinan-kemungkinan buruk lagi-lagi terlintas di benakku akibat ucapan ibuku.

“Ya Allah, Sya, ucapannya!” Ashar menegurku lembut. “Kan barusan aku bilang, berprasangka baik, luv. Untuk hal ini juga. Aku yakin kok, insya Allah kita bakalan punya anak, apalagi kita kan udah cek sama-sama, kita berdua sehat. Jangan mikir aneh-aneh, ah, aku enggak suka.” Lanjut suamiku, menasihatiku sambil mengusap-usap puncak kepalaku.

“Maaf...” tuturku pelan.

Ashar terdengar menghela nafasnya, lalu kemudian suamiku itu menangkupkan kedua pipiku seraya menatapku dalam. “Isya istriku yang Sholehah, mulai sekarang berpikir yang baik-baik lagi, ya? Udah sedihnya. Kita berdoa yang baik, untuk kita dan ibu. Semoga ibu segera bertobat dan kita segera di berikan kepercayaan menjadi orang tua oleh Allah. Setuju?” Ashar memberikan kecupan di keningku setelah menyelesaikan ucapannya—membuatku memejamkan mata karena hal itu.

Ashar (End)Where stories live. Discover now