24. Proses

847 51 0
                                    

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamualaikum, halo semuanya!

Apa kabar?

Gimana harinya hari ini?

Doain aku Istiqomah nulis di tengah-tengah banyaknya tugasku, yaa!

Btw, tandai kalau ada yang typo, oke?

Happy Reading ❤️


Tolong katakan padaku bahwa ini bukan mimpi!

"Ya Allah, Ashar lamar aku? Serius lamar aku?" Aku membenamkan wajahku pada bantal saking tidak percayanya dengan kejadian barusan.

Plot twist sekali.

Setelah Ashar pulang pun bunda langsung menggodaku habis-habisan. Namun serius, aku sekaget itu mendapatkan lamaran dari Ashar.

Padahal, awalnya aku belum se siap itu untuk menikah, tapi kala Ashar datang melamar, kesiapanku yang awalnya 90% langsung menjadi siap 100%.

"Bentar, berarti besar kemungkinan selama ini gue enggak bertepuk sebelah tangan dong?" Kini aku bertanya-tanya benarkah bahwa Ashar juga sudah menyukaiku dari dulu? Atau baru-baru ini?

"Nanti tanyanya pas udah nikah aja deh." Ujarku sambil senyum-senyum tidak jelas. Bahkan aku sampai memukul bantal yang tidak bersalah.

"Eh iya!" Aku menghentikan aksiku yang cukup gila barusan karena tiba-tiba teringat sesuatu. "Berarti gue bakal nikah muda, nih?!" Ucapku pada diriku sendiri. Astaghfirullah, kenapa aku baru ingat akan hal tersebut?!

"Eh, tapi kan gue sama Ashar kan udah lulus kuliah, udah kerja juga. Jadi enggak muda-muda banget lah ya?" Gumamku.

"Iya, kok, kita kan udah mau 24 tahun." Aku menganggukkan kepalaku, seolah setuju dengan argumenku sendiri yang mengatakan bahwa aku sudah tidak semuda itu. Jadi wajar untuk menikah.

"Lagipula, kalau sudah sama-sama siap, baik materi dan mentalnya lebih baik nikah enggak sih? Apalagi kalau sama-sama suka gitu kan, daripada zina mending nikah." Tambahku.

"Ehz tapi memangnya Ashar beneran suka sama gue?" Monolog ku. Aku bertanya entah pada siapa.

"Astaghfirullah udah ah! Mending bahagia dulu, tidur biar besok fresh pas lamaran resmi." Kataku dengan malu-malu kucing.

Setelah memaksa acara overthinkingku agar berakhir, aku pun memejamkan mataku, mencoba untuk tertidur dengan perasaan bahagia.

***

Aku menatap sembari tersenyum-senyum pada cincin indah yang melekat pada jariku. Cincin ini sebagai penanda bahwa aku sudah memiliki calon suami. Cincin ini dipasangkan oleh Umi Ashar saat proses lamaran resmi tadi.

"Cie kakak!" Bundaku datang seraya mencolek daguku.

Aku semakin tersipu karena hal itu.

"Bentar lagi nikah, cieee!" Lagi, bunda kembali menggodaku.

Aku diam dengan senyum malu-malu.

"Bentar lagi tinggal berdua sama suaminya, ciee!" Bundaku tidak berhenti menggoda.

"Bunda ihh!" Aku yang tidak tahan akhirnya merengek. Namun hal itu justru membuat bundaku tertawa.

"Kakak, untuk kepentingan sebelum pernikahan, pengurus surat-surat dan sebagainya. Nanti biar bunda atau ayah yang temani kalian berdua. Kalau misalnya orang tua Ashar mau temani kalian berdua juga oke aja. Yang jelas jangan berduaan. Kalian belum mahrom." Ayah datang di kala bunda masih sibuk tertawa.

Ashar (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang