BONANZA - 062

27K 1.3K 47
                                    

062'

******

Nanza melirik jam dinding di pojok kamar, gadis itu menggigit bibir bawahnya sendiri. Ini adalah langkah pertama yang gadis itu ambil untuk menjauhi Kalingga. Karena gadis itu akan mengingkari bisikkannya kemarin pada laki-laki itu. Dimana Nanza menjanjikan kalau gadis itu tidak akan menemani Kalingga belajar kalau laki-laki itu tidak menjauh darinya waktu itu. Sekarang gadis itu melakukannya tidak sesuai janji. Semoga saja rencananya berjalan dengan lancar. Apalagi sebelumnya gadis itu sudah mendapat setuju dari Rere dan Caca. Rere sangat berterimakasih pada gadis itu lalu mengatakan kalau Nanza berhak menentukan tujuan selanjutnya.

Merasa getaran di handphonenya terulang beberapa kali, Nanza yakini itu adalah pesan dari Kalingga seperti dua menit lalu. Helaan napas terdengar dari gadis itu. Kakinya beranjak dari kasur menuju meja rias menatap pantulan dirinya di dalam cermin. Entahlah, jika sedang di posisi seperti ini, Nanza selalu ingin bermonolog sendiri. Itulah cara gadis itu mengungkapkan perasaan batin, pikiran, dan intuisi. Karena tidak mungkin seseorang mengungkapkan perasaan pribadinya terlalu dalam kepada orang lain, teman, termasuk sahabat. Garis bawahi, semuanya memiliki batasan.

Nanza menyelipkan ujung rambut pendeknya ke belakang telinga kanan dan kiri, lalu gadis itu menipiskan bibirnya, "Za, tugas lo selesai. Sekarang lo akan hidup normal seperti biasa. Kak Lingga nggak bakal gangguin lo lagi."

Tangannya terlipat ke depan dada, "Hm, kira-kira gue dapet apresiasi nggak si? Gue berhasil, lho." gadis itu langsung berdecak seraya menggelengkan kepalanya. Rasanya campur aduk. Gadis itu jadi merasa benar-benar jahat. Akan tetapi, jahat untuk kebaikan itu tidak masalah. Sudahlah, Nanza akan kembali menjadi Bonanza. Bonanza yang anti akan cinta, apalagi laki-laki.

Nanza membalikkan tubuhnya berjalan ke arah pintu untuk turun menemui Neneknya. Belum menapakkan kakinya di lantai dasar, Nanza mendengar ketukan di pintu utama sana. Melihat Neneknya berjalan ke arah pintu, Nanza langsung berlari secepat kilat menghalangi jalan Neneknya.

“Astagfirullah, Za!” pekik Neneknya kaget.

“Jangan, buka, pintu.” ujar Nanza seraya mengatur napasnya yang masih memburu akibat berlari.

Kedua alis Neneknya tertaut, “Lho, kenapa? Takutnya itu tamu penting, Za. Awas, biar Nenek yang buka.”

“Nggak, Nek. Bukan. Gini aja, Nenek ke kamar lagi. Biar Nanza yang buka pintu. Kalo itu emang tamu bertujuan ke Nenek, Nanza kasih tau, deh.” ujar gadis itu lalu tersenyum meyakinkan.

“Hm... yaudah, Nenek ke kamar lagi ya, Za. Kalo perlu bilang aja Nenek udah tidur. Udah ngantuk berat juga ini,” ucap Neneknya itu seraya mengusap-ngusap keningnya.

Nanza segera mengangguk, “Oke, Nek.” gadis itu langsung berjalan ke arah pintu.

Menatap was-was daun pintu berwarna coklat tua itu, Nanza sudah sangat yakin kalau di luar sana adalah laki-laki yang akan di hindarinya. Karena apa? Percaya atau tidak, Nanza sudah dapat mencium wangi parfum Kalingga. Itu sangat familiar di indra penciumannya.

Gadis berkaus polos berwarna ungu muda itu memejamkan matanya dengan jemari tangan kanan yang terangkat untuk menyentuh daun pintu itu. Tiba-tiba hatinya mencelos. Entahlah, terbesit rasa nyeri di hatinya. Padahal gadis itu sudah meyakinkan dirinya untuk seperti ini. Mungkin ini hanya perasaannya saja karena sudah terbiasa dekat dengan laki-laki itu akhir-akhir ini.

BONANZA •  [TERBIT]✓Where stories live. Discover now