Bab. 19

72 16 14
                                    

Ian tolong jaga Qiara ...

Ian mengerjapkan mata, lalu terperanjat bangun dari pembaringan nya. Dia baru saja bermimpi didatangi oleh mendiang papah tirinya. Sontak mimpi itu membuat Ian teringat dengan janji yang pernah dibuatnya dengan mendiang Pak Saka.

"Loh kenapa? Habis mimpi buruk?" tanya Nata yang tenyata menyaksikan kejadian tersebut. Laki-laki itu bermaksud membangunkan Ian, tapi dia malah mendapati Ian menginggau dan tidur dalam keadaan yang gelisah.

"Enggak, gue enggak mimpi buruk kok. Ngomong-ngomong Lo ngapain di kamar gue?"

"Gue disuruh Tante bangunin lo, udah waktunya makan malam sekarang."

Ian melihat ke luar jendela, lalu menggeleng. "Gue enggak lapar. Lo aja yang temenin Mami makan malam."

"Ian, Lo mau sampai kapan kayak begini. Udah beberapa hari ini gue perhatiin lo jarang makan. Lo mau penyakit GERD lo kambuh?"

"Biarlah Nat, biar gue mati sekalian."

Mendengar Ian yang begitu putus ada Nata pun menjitak kepala Ian. "Kalau ngomong jangan suka asal. Biar mati ... biar mati ... lo pikir dengan mati lo bakal merasa lebih baik. Lo punya bekel apa pakai pengen mati segala?"

"Gue belum punya bekel apa-apa Nat, tapi gue bingung mesti gimana sekarang? Hidup gue sekarang dihantui rasa bersalah ... bahkan gue juga enggak sanggup nepatin janji ke almarhum Papah Saka."

"Janji apa?"

"Gue disuruh jaga Qiara ngegantiin dia. Tapi kenyataannya sekarang Qiara malah jauh dari gue."

"Jadi gue lebih baik mati aja kan?" tanya Ian berteriak.

"Ngaco!" Nata kembali menimpuk Ian dengan sebuah bantal. "Pikiran lo kok pendek banget sih!"

Nata menepuk pipi Ian dan menimpuk Ian dengan bantal secara berulang kali. Dia melakukan itu untuk menyadarkan Ian.

"Lo apa-apaan sih? Sakit tahu!" Ian berusaha menghindari timpukan dari  Nata yang bertubi-tubi.

"Baru segitu aja lo sakit, apalagi klo mati  bunuh diri. Ntar azab lo lebih sakit dari itu!"

"Masih kepikiran mau mati?"

"Enggak, iya enggak deh," ucap Ian.

"Tapi ...."

"Tapi apa lagi?" Nata membelalakkan matanya, sikapnya saat ini persis sekali dengan Ibu Lisa jika sedang mengomeli Ian.

"Gue kepikiran Qiara, gue pengen jagain dia ... tapi di kampus aja dia selalu ngenghindar dari gue."

Nata menepuk bahu Ian. "Lo tenang aja Qiara baik-baik aja kok, sekarang dia tuh ngekos di indekos yang dekat warung kopi Mang Juki."

"Lo kok tau? Lo masih sering ngobrol sama Qiara?"

Nata mengangguk.

"Oh, syukur kalau begitu. Tolong Lo awasi dia dari Deket, karena gue cuma bisa awasi dia dari jauh."

"Gue pasti jagain Qiara kok tanpa Lo minta. Dia itu spesial buat gue."

"Spesial?"

"Iya maksudnya dia udah kayak adek gue sendiri. Jangan mikir macam-macam." Nata mencoba menutupi perasaannya yang sebenarnya.

"Udah mending sekarang kita makan dulu. Kasihan Tante nungguin di bawah," ajak Nata seraya menarik tangan Ian.

Akhirnya Ian mengikuti perintah Nata. Dia bersedia turun ke ruang makan. Di sana sudah nampak Ibu Lisa yang menunggunya sembari memangku dagu. Tatapan wanita itu begitu kosong dan lurus ke depan. Bobot tubuhnya nampak merosot, dan wajahnya tak secerah seperti hari-hari yang dahulu.

Qiara, My Stepsister (TERBIT)Where stories live. Discover now