Bab. 6

131 39 11
                                    

"Apa maksud ucapan lo Qiara?" tanya Ian sekali lagi.

Qiara sontak menutup mulutnya. Astaga! Hampir aja gue keceplosan. Padahal papah udah wanti-wanti buat enggak ngasih tahu soal ini ke Ian.

Qiara menggelengkan kepala, lalu menyeka air matanya. Dia memutuskan tak memberitahu yang sebenarnya kepada Ian. Qiara pun beralih fokus kepada Yudhist dan Tara yang terluka.

"Wajah Lo harus diobati Ta," ucap Qiara seraya menatap Tara, lalu dia beralih kepada Yudhist yang masih memegangi bahunya. "Lo enggak apa-apa Yud? Bahu lo sakit lagi?"

Qiara membantu Yudhist untuk bangkit, dan membopongnya dengan dibantu Tara juga. Qiara sangat khawatir karena Yudhist pernah mengalami cedera yang cukup parah di bahunya.

Ian yang masih dilanda penasaran pun menarik tangan Qiara dan kembali bertanya. "Lo belum jawab pertanyaan gue, sebenarnya bokap lo sakit apa? Sakit parah?"

Qiara menghempaskan tangan Ian. "Bokap gue baik-baik aja kok. Dokter bilang dia cuma kecapean."

"Lo enggak bohong kan?"

"Gue enggak bohong. Udah lah gue mau nolong dulu Tara sama Yudhist. Mereka harus buru-buru diobati."

Ian nampaknya percaya. Kini dia terdiam di tempatnya. Dia tak lagi memaksa Qiara untuk menjelaskan apa yang sebenernya diderita oleh ayah Qiara.

.......

Keesokan harinya

Keadaan Pak Saka sudah cukup membaik dari hari kemarin. Namun, dokter meminta Pak Saka untuk melakukan rawat inap sampai kondisinya benar-benar stabil. Dokter sebenarnya sudah menyarankan Pak Saka untuk operasi. Namun, Pak Saka menolak tindakan itu karena suatu alasan.

Karena ada Ibu Lisa yang menjaga Pak Saka. Hari ini Qiara memaksakan diri untuk pergi ke kampus. Dia tak ingin bolos terus menerus. Sebelum ke kampus Qiara ke rumah terlebih dahulu untuk berganti baju dan membawa perlengkapannya

Qiara keluar dari kamar, dan tak sengaja dia berpapasan dengan Ian yang nampak sudah rapi mengenakan sweter hitam dan celana jeans denim.

Mereka hanya saling bertatapan tanpa saling menyapa atau tersenyum sama sekali. Tatapan mereka berdua sama-sama menunjukkan permusuhan.

Qiara pun memilih berlalu mendahului Ian. Dia menuju motornya yang terparkir di pekarangan lalu menaikinya. Namun, entah kenapa mesin motor Qiara tiba-tiba tak mau menyala.

"Jangan bilang mogok disaat lagi buru-buru kayak gini. Ah, gimana ini?"

Qiara terus berusaha memancing motornya  untuk menyala. Hingga Ian keluar dan melihat keadaannya.

Ian menertawakan Qiara. "Kasihan banget yang mogok. Kayaknya motor lo ngambek minta servis."

"Hmmmm."

"Coba lo servis ke bengkel langganan gue," ucap Ian memberi rekomendasi.

Qiara mengernyit melihat sikap Ian yang tiba-tiba peduli padanya.

"Kenapa lo natap gue kayak begitu?" tanya Ian.

"Lo kesambet atau salah makan obat? Tumben lo baik sama gue?"

Ian tertawa, lalu mengetuk kepala Qiara. "Enggak usah GeEr. Gue bukan peduli sama lo, gue cuma kasihan sama motor lo. Punya majikan yang enggak bisa ngerawat motor."

"Oh begitu. Iya sih termasuk keajaiban dunia kalau seorang Ian peduli sama gue."

Saat seperti itu Nata muncul dari balik pagar. Seperti biasa dia menyapa Qiara  dengan ramah. "Hai, dek."

Qiara, My Stepsister (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang