Bab 8

110 34 3
                                    

Ian melangkah masuk ke dalam ruang rawat Pak Saka. Matanya langsung tertuju kepada Qiara dan ibunya yang terlelap di atas sofabed berwarna hitam. Melihat keduanya tak mengenakan selimut, Ian pun gegas mengambil selimut dari dalam lemari, lalu menyelimuti tubuh kedua perempuan itu.

Ian merasa kasihan kepada ibunya yang  sudah berhari-hari tak pulang demi menemani Pak Saka yang sakit.

Ian mendesah. "Seharusnya Mami setelah menikah tuh bahagia, bukan jadi repot begini. Kenapa sih Mami harus menikah lagi? Apa kehadiran Ian enggak cukup buat Mami?"

Ibu Lisa nampak melenguh, dan bergerak. Tak ingin mengganggu tidur sang Ibu, Ian pun beranjak dari sana dan melangkah menuju tirai yang dibaliknya ada Pak Saka yang tengah berbaring.

Ian berdiri di samping ranjang Pak Saka  sambil mengamati wajah Pak Saka yang tak lagi muda. Ian jadi teringat dengan obrolan Qiara dan Nata yang didengarnya tempo hari.

"Papah punya penyakit jantung, dan mengidap kanker otak."

Ian mengarahkan tangannya secara perlahan ke arah tangan Pak Saka. Dia ingin memegang tangan itu, tetapi dia urung melakukannya.

Enggak! Gue enggak boleh lemah. Gue enggak boleh peduli sama laki-laki ini. Sampai kapan pun gue enggak akan pernah nerima kehadiran dia sebagai seorang ayah!

Tak terduga saat itu tiba-tiba Pak Saka mengerjapkan matanya. Mata Pak Saka semakin terbuka lebar saat menyadari kehadiran Ian.

"Ian ...," panggil Pak Saka dengan suara yang terdengar lemah.

"Kamu sudah lama di sini?"

"Baru aja kok Om. Aku ke sini karena khawatir sama Mami enggak pulang-pulang."

Pak Saka mencoba bangkit untuk mendudukkan tubuhnya. Dia terlihat kesulitan tetapi Ian hanya mematung tak ingin membantu Pak Saka sama sekali. Di dalam hati sebenarnya Ian ingin membantu, tetapi dia terlalu ego untuk mengikuti hati nuraninya.

"Kamu sudah makan?"

Ian tak menjawab pertanyaan Pak Saka yang begitu mengkhawatirkannya dengan tulus. Entah apa yang merasuki Ian hingga dia buta dengan semua perhatian tulus yang Pak Saka berikan kepadanya.

"Jangan lupa makan, nanti kamu sakit kayak Papah," ucap Pak Saka.

Ian berdecak. "Berhenti menganggap diri om sebagai ayahku. Dari kecil sampai sekarang aku ini enggak punya ayah!"

Pak Saka menunduk sembari memegang dadanya. "Kalau begitu maafin Om ... maaf karena udah lancang menggantikan posisi ayah kamu Ian."

"Enggak ada yang tergantikan kok Om, dari dulu aku memang enggak punya figur seorang ayah, dan sampai kapan pun aku enggak butuh figur seorang ayah! Yang aku butuhkan hanya Mami!"

Pak Saka tak membalas ucapan Ian, dia nampak terus memegangi dadanya seraya menahan sakit.

Melihat keadaan Pak Saka yang seperti itu tak membuat Ian berhenti meluapkan semua uneg-unegnya. Ian terus berbicara, mengutarakan apa yang ada di pikirannya.

"Seharusnya Om enggak usah nikahi Mami kalau penyakit yang parah seperti sekarang."

"Ka-kamu tahu tentang penyakit om?"

Ian mengangguk. "Percuma ditutupi serapat apa pun. Sebenarnya apa alasan Om menikahi Mami? Apa biar ada yang biayain om operasi?"

Pak Saka menarik nafasnya yang berat, lalu menggeleng. "Om enggak pernah kepikiran seperti itu. Om menikahi Mami kamu karena tulus menyayangi dia."

"Bullshit!"

"Ian ... kamu tenang aja om enggak akan pakai sepeser pun uang Mami kamu. Besok om akan pulang dari rumah sakit dan segera bekerja. Om akan mengganti semua uang Mamimu yang terpakai untuk biaya pengobatan beberapa hari ini."

Qiara, My Stepsister (TERBIT)Where stories live. Discover now