Bab. 18

97 18 13
                                    

"Papah kenapa pergi secepat ini? Qiara kan belum bisa bahagiain Papah. Kenapa sih Papah enggak bawa Qia pergi juga?"

Qiara menumpahkan isi hatinya seraya mendekap foto almarhum Pak Saka dengan erat, seolah dirinya tengah memeluk sang mendiang ayah.

Qiara menciumi, mengusap foto itu seraya menyeka air matanya berkali-kali. Dia tahu air matanya itu hanya akan membuat sang ayah kesakitan di alam sana, tetapi perempuan itu sungguh tak bisa menahan semua kesedihan yang dirasakannya. Semua yang terjadi terlalu mendadak, dan terlalu tragis bagi dirimya.

Qiara mengangkat wajahnya secara perlahan,lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar yang beberapa Minggu ini telah dia tempati. "Pah, maafin Qiara ... Qiara kayaknya enggak bisa tinggal di sini lagi. Tempat ini terlalu menyakitkan buat Qia."

Qiara turut memasukkan foto sang ayah ke dalam koper yang sudah berisi pakaian dan beberapa barang penting miliknya, lalu hendak menutupnya. Namun, matanya tiba-tiba tertuju kepada kotak hitam yang ada di atas meja belajar. Kotak yang merupakan kado dari Ian.

Qiara beranjak untuk mengambil kotak tersebut. Emosinya kembali membucah tatkala mengingat kenangan di Vila yang hanya menyisakan luka.

Qiara mengarahkan telunjuknya ke arah kotak itu seolah benda itu adalah Ian. "Buat apa lo kasih gue hadiah ini? Kalau lo juga yang udah bikin bokap gue mati! Gara-gara lo bokap gue pergi!

"Gue benci sama lo Ian!" Qiara membanting kotak tersebut dengan keras ke lantai, hingga isinya berhamburan.

"Gue benci sama lo!"

Teriakan Qiara yang keras sontak terdengar keluar. Membuat Ian yang kebetulan lewat langsung masuk ke dalam kamar Qiara karena khawatir terhadap kondisi perempuan itu.

"Qia, lo kenapa?"

Ian menghampiri Qiara dan hendak menyentuhnya tetapi Qiara lebih dulu mendorongnya.

"Enggak usah pegang-pegang gue! Gue benci sama lo!"

Ian menyugar wajahnya. "Ok, lo boleh benci sama gue. Tapi lo harus tahu satu hal Qiara. Kejadian ini juga menyakitkan buat gue! Gue juga sayang sama Papah, dan gue juga merasa kehilangan sosok Papah."

"Bohong! Lo pasti senang dengan kepergian Papah!"

"Enggak begitu Qia!"

Qiara mengamuk dia melempar benda di sekitarnya ke arah Ian. "Lo pasti bahagia kan Ian? Bokap gue udah enggak ada sekarang. Dalam hati Lo pasti tertawa kan?"

Qiara terus melempari Ian dengan berbagai benda, dan untunglah Ian bisa terus menghindari lemparan dari Qiara.  Hingga akhirnya Ian maju, lalu mencengkram kedua bahu Qiara untuk menghentikan aksinya tersebut. "Cukup! Gue tuh sama sekali enggak bahagia Qia! Apa perlu gue belah tubuh gue biar lo tahu kalau hati gue juga merasa sakit saat ini!"

Qiara mendorong tubuh Ian, saat ini dia tak bisa mempercayai apa yang keluar dari mulut Ian. Dia hanya percaya apa yang dia yakini saat ini, dan dia yakin kalau Ian sama sekali tak menderita dengan kepergiaan sang ayah.

Qiara mengabaikan Ian, lalu melanjutkan menutup koper miliknya. Ian yang menyadari tindakan Qiara tersebut langsung menyerbunya dengan berbagai pertanyaan.

"Lo mau kemana?  Kenapa barang lo semua dimasukin koper?"

Qiara tak menjawab pertanyaan Ian, dia berusaha menyingkirkan laki-laki itu dari hadapannya

Ian menahan koper yang akan Qiara seret. "Jawab gue lo mau kemana?"

"Gue mau pergi! Gue enggak bisa lagi tinggal di sini!"

Ian menghalangi langkah Qiara dia menahan tangan perempuan itu. Matanya nampak mulai berkaca-kaca saat menahan kepergian Qiara. "Gue minta lo jangan pergi dari sini ... lo mau tinggal dimana, terus sama siapa?"

Qiara, My Stepsister (TERBIT)Where stories live. Discover now