Bab. 17

82 17 21
                                    

"Papah!" Ian berteriak saat melihat Pak Saka terluka karena melindunginya.

Sebuah pisau menancap di dada sang ayah hingga baju yang dikenakan kini berlumuran darah.

Ah, sial kenapa malah ayahnya Qiara yang kena!

Karena panik laki-laki misterius itu refleks mencabut pisau yang tertancap di dada Pak Saka, membuat darah merah itu bercipratan kemana-mana.

"Lo siapa? Kenapa lo mau nyelakain keluarga gue?" Ian berteriak seraya menahan tubuh Pak Saka yang akan terjatuh.

Laki-laki bertopeng itu tak menjawab, dia memundurkan langkahnya, kemudian berlari pergi hingga lenyap di telan kegelapan malam.

"Tunggu! Lo mau kemana! Lo harus tanggung jawab!"

Ian ingin mengejar orang misterius itu, tapi dia tak mungkin meninggalkan Pak Saka yang terluka.

Pak Saka terus mengerang menahan sakit. Dia memegang erat lengan Ian seraya terus memanggil nama laki-laki itu dengan lirih. "I-an ... I-an ...."

Ian membaringkan tubuh Pak Saka dengan perlahan. Dibaringkannya kepala Pak Saka di atas pangkuannya. Ian tak bisa menahan air matanya saat melihat keadaan sang ayah yang begitu parah.

"Kenapa Papah lindungin Ian? Seharusnya Ian aja yang kena tusukan itu Pah!"

Pak Saka menggeleng seraya tetap berusaha mengangkat tepi bibirnya. Tangannya yang berusaha menggapai Wajah Ian hanya bisa melayang-layang di udara karena kondisinya yang semakin melemah.

Ian menggenggan tangan yang melayang itu, lalu dia ciumi tangan itu tanpa mempedulikan noda darah yang menempel di sana.

"Papah, Papah harus kuat. Ian akan cari bantuan. Papah pokoknya harus kuat."

Pak Saka menggeleng pelan, dia merasa waktunya sudah tak lama lagi. Bulir air mata mulai keluar dari sisi matanya yang sudah renta.

Ian merasa hatinya begitu sakit saat melihat air mata Pak Saka yang terjatuh. Seketika laki-laki itu menyesali semua perlakuan buruk yang pernah dia tunjukkan kepada sang ayah tiri.

"Maafin Ian Pah ... Papah harus bertahan ... Papah harus kuat."

Pak Saka kembali menggeleng pelan. "Ma-af Papah udah eng-gak kuat Ian ... to-long ja-ga Qiara."

"Papah jangan ngomong begitu! Papah enggak boleh tinggalin Ian dan Qiara!"

"Ja-ga Qia-ra ...." Pak Saka lagi-lagi meminta Ian menjaga Qiara.

Ian pun mengangguk. "Iya, Ian pasti jaga Qiara, tapi Ian mohon Papah bertahan. Papah harus bertahan."

Ian menyadari nafas sang ayah mulai memendek. Di saat itu Ian mencoba tegar dan menyadarkan dirinya. Ian mencoba melakukan apa yang seharusnya dia lakukan.

Dengan suara yang bergetar Ian menuntun Pak Saka membaca syahadat. "Papah ikuti Ian ya." Ian terisak dan menyeka air matanya berkali-kali saat mengucapkan kalimat syahadat.

Pak Saka mengikuti ucapan itu dengan nafas yang semakin pendek. "A-syha-du a laa ilaa-ha illallaahu ... wa- asyhaduanna ... muhammadar rasuulullah"

Mata Pak Saka seketika terpejam bersamaan dengan tangannya yang terkulai lemas.

Tangis Ian seketika pecah menyadari bahwa sang pemilik raga sudah pergi untuk selamanya."Papah! Papah!"

Ian berteriak, mengguncang tubuh Pak Saka berharap sang ayah tiri akan membuka matanya lagi.

"Papah kenapa tinggalin Ian? Kenapa tinggalin Ian pas Ian udah sayang sama Papah?"

Ian terus menangis meraung di tengah pepohonan rimbun yang gelap. Entah berapa lama dia menangisi jasad di hadapannya, dan berharap jiwa itu kembali terbangun.

Qiara, My Stepsister (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang