Titik Persimpangan Rasa

6.2K 524 63
                                    

Setelah proses yang lumayan lama, akhirnya kantor Ang Siwa Learning Center resmi memiliki dua ruko sebagai kantor utamanya.

Lantai satunya dibuat sebuah lobi yang rapi. Kini punya meja resepsionisnya sendiri, terdapat dua pasang sofa putih sebagai ruang tunggu dan akses lorong khusus untuk ke kantin karyawan di belakang yang sudah dibuat lebih luas.

Sekarang ada dua belas studio shooting yang mengelilingi ruangan lantai dua dan bagian tengahnya ada setengah area lesehan dengan rumput sintetis dan ada setengah area working space bebas berkapasitas dua puluh orang yang nantinya bisa digunakan siapa saja yang mau bekerja bersama.

Di lantai tiga, ruangannya akan dijadikan ruang kantor yang dibatasi kubikel. Namun sementara ini, masih dijadikan gudang untuk buku-buku pelajaran siswa peserta kursus yang belum dikirimkan.

Tugas Akmal lah untuk memperhatikan tata letak ruang ini. Dia memandu tiga pemuda staf operasional yang sibuk memindahkan dus buku agar tidak menghalangi proses instalasi kabel-kabel nantinya.

Sejujurnya bau cat baru di ruangan ini sudah membuatnya mual karena dia bekerja di sini sejak beberapa hari lalu. Alibinya, dia ingin membantu operasional dalam penataan barang. Faktanya, dia sedang menghindar dari Erina. Walau ternyata gadis itu masih belum masuk juga di hari Sabtu ini.

Total Erina izin selama seminggu. Setelah dengar dari Ridwan yang mendapat bocoran dari Kia, rupanya Erina bukan izin sakit melainkan izin kerja dari rumah. Selama ini, tak ada karyawan yang bisa mengajukan izin seperti itu. Aneh memang, tapi Akmal juga tak bisa menangkap logika dari apapun yang terjadi sekarang.

"Mas, ini disimpen disini gak apa-apa?" Seorang pemuda bertubuh gempal baru meletakkan satu dus buku ke pojok ruangan.

"Sampingin dikit Zis. Disitu rencananya buat simpen dispenser."

Lelaki bernama Azis itu segera menyeret dusnya satu meter ke kiri, "sini mas?"

"Ya."

"Oke!" Azis berlari mengambil satu dus lain dari tumpukan yang tak beraturan.

Saat sedang fokus-fokusnya, mendadak terdengar teriakan seru dari lantai dua. Baik Akmal dan ketiga staf itu saling bertatapan, menyadari teriakan perempuan itu nyata, bukan halusinasi mereka.

Akmal bergegas turun ke lantai dua.

Di area working space, terdapat lima orang perempuan muda, para karyawan baru yang sedang berlarian di antara kursi-kursi itu, menghindari sesuatu.

"Kenapa? Ada apa?"

"MAS AKMAL!" Mereka serentak memanggilnya.

Akmal melihat sumber ketakutan mereka, ternyata seekor kecoa lumayan besar yang berusaha mengepakkan sayapnya, "oalah kecoa doang."

"Tolongin mas!" Seorang gadis berambut pirang berlari ke belakang Akmal. Disusul keempat lainnya yang menjerit berlebihan.

Akmal melihat ke sekitar. Dia mendapati sebuah sapu di pojok ruangan. Mengambil benda itu. Sesaat dia perlu kucing-kucingan untuk menahan si kecoa. Tentu diiringi jeritan kehebohan para perempuan itu sementara Akmal berkali-kali gagal menepuk ke sasaran.

Tapi dengan satu prediksi gerakan yang tepat, akhirnya Akmal berhasil menggeprek kecoa itu dibawah sapunya. Dia mengangkat sapu ijuknya untuk memastikan. Para gadis itu menjerit kompak melihat jijik.

"Ada yang punya tisu atau plastik gitu?" Tanya Akmal.

"Ih jorok banget mas. Jangan dipegang!" Larang salah seorang dari mereka.

"Ya mau gimana lagi? Gak ada pengki."

Seorang gadis berambut panjang dengan dress merah berlari ke mejanya, mengambil beberapa lembar tisu dan plastik prapatan bekas cilok yang hanya tersisa bumbunya, "ini mas."

MAS IT & MBAK SECRETARYWhere stories live. Discover now