Keadilan

6.4K 643 67
                                    

Jujur, membangun perusahaan ini bukan hal mudah bagi bu Berta. Tak pernah mudah, mengingat pada akhirnya ... Sebuah perusahaan yang menjadi mimpi dia dan suaminya kini harus dia jalani sendiri.

Andai mendiang suaminya masih ada, mungkin bebannya akan lebih ringan. Tapi di sisi lain, mungkin juga kakaknya Rudolf tak mau terlalu banyak ikut campur. Mengingat kakaknya itu agak kurang suka dengan suaminya.

Banyak kemungkinan, semuanya hanya dalam otaknya tanpa bisa dia buktikan, karena satu-satunya cara membuktikan kemungkinan itu adalah menarik kembali suaminya ke dunia dan itu hal yang tak mungkin.

Makanya bu Berta sangat bersyukur kala dia mendapati tim yang begitu solidnya, yang mau bekerja keras demi menguatkan pondasi perusahaan.

Kia dan Steve, dia tak bisa menampik jasa keduanya. Kinerja mereka di masa sulit hingga sistem Ang Siwa Learning Center sudah sempurna saat ini patut diacungi jempol.

Oleh karena itu, kebanggaannya pada mereka membuat hatinya makin sakit melihat apa yang terjadi hari ini.

Di ruang meeting nomor dua dia tak sendirian.

Di bagian kirinya duduk Steve dan Kia. Di bagian kanannya duduk Erina dan Akmal.

Tak ada satu pun yang bisa dia pilih dari keempat karyawan ini. Walau Erina datang paling baru, posisinya sebagai keponakannya jelas menjadikan dia sebagai prioritas bu Berta.

Sayangnya, lagi-lagi bu Berta menyayangkan pengaduan seperti ini harus terjadi.

Sebagai seorang bos, bu Berta harus menekan rasa sakit hatinya. Harus bersikap sekaku-kakunya. Hanya bisa memegangi tangannya sendiri di atas meja, menancapkan kuku-kukunya ke buku jarinya seolah berharap itu bisa menjadi pengalihan amarahnya.

"Steve," panggilnya membuat pria itu menoleh. Di meja ini hanya Steve dan Akmal yang sama-sama duduk tegap. Sementara Erina dan Kia tampak tak terlalu percaya diri, "saya minta kamu jawab jujur. Saya akan beri kamu kesempatan untuk mengaku. Apakah ada hal buruk yang kamu lakukan ke Erina akhir-akhir ini?"

Bu Berta hapal bahwa Steve orang yang cerdas. Dia pandai bersilat lidah. Pertanyaan itu hanya membuat satu detik kilatan kaget yang langsung digantikan kebingungan di wajah lelaki berkulit putih itu, "maksud ibu apa ya bu? Hal buruk apa?"

"Saya berikan kamu kesempatan untuk mengaku Steve. Sekali lagi saya tanya, apakah kamu melakukan hal buruk ke Erina?"

Mata Steve lalu melempar pandang ke Erina, bertanya dalam diam, "maksudnya apa bu?

"Apa kamu melakukan hal buruk ke Erina?" Tekan bu Berta.

"Bu saya gak ngerti ... "

"SEKALI LAGI SAYA TANYA, APAKAH KAMU MELAKUKAN HAL BURUK KE ERINA?" Sentakan bu Berta berbarengan dengan gebrakan tangan wanita itu ke meja, mengejutkan keempat karyawannya.

"Tidak bu." Jawab Steve lugas.

Bu Berta mengelap keringat di balik poninya. Dia mengeluarkan ponsel dari kantong jas birunya. Jemarinya sampai basah saking dia gugupnya. Dia gugup karena masalah ini nantinya pasti berimbas kemana-mana dan dia tak tahu apakah dia bisa melaluinya.

Ponsel bu Berta sampai ke galerinya, ke sebuah rekaman video. Dia meletakkan ponselnya di depan Steve, "jelaskan ini."

Kali ini keterkejutan di pandangan Steve berlangsung lebih lama, dia tak memutar videonya. Thumbnailnya cukup jelas memperlihatkan kedua tangan Erina yang dia cengkram dan posisi wajahnya yang menempel ke wajah Erina.

Steve tak tahu keberadaan video itu. Lelaki itu menelan ludah. Pergerakan kecil di kepalanya seolah menggeleng menyesali. Tapi dia lalu melihat ke Erina yang duduk di depannya, "kenapa sampai bisa ada ini Rin? Kita gak mau hal kayak ginian tersebar kan?"

MAS IT & MBAK SECRETARYWhere stories live. Discover now