Studio 6 Date

6.8K 560 11
                                    

Di jam-jam dimana semua orang bisa istirahat, saat satu kantor kosong dan orang-orang heboh melihat menu katering hari ini, Akmal terpaksa melipir ke studio enam.

Di ruang paling ujung berdinding peredam suara motif kotak hitam itu hanya ada satu lampu yang menyala. Itu pun sudah redup. Terakhir dia berusaha mengajukan pembelian, anggarannya ditolak.

Dalam situasi ini, terlihat debu-debu berterbangan. Setumpuk tripod menggunung di ujung ruangan. Batang-batang panjang itu saling melintang ditambah dengan softbox terlipat yang jumlahnya tak sedikit juga.

Tugas dari Steve adalah dia harus mengelap semua benda ini, memisahkan yang benar-benar rusak dan yang masih bisa dipakai, lalu di data untuk dibelikan yang baru.

Harusnya Akmal bisa mengerjakan ini setelah jam kerja. Tapi rasanya dia tak rela menghabiskan sejam lebih lama di kantor tanpa mendapatkan tambahan uang lemburan.

Maka pria itu menggulung lengan kemeja putihnya. Mengambil sebuah lap dari tiga lap yang ada di meja kecil sudut ruangan, "gini ya kerjaan orang D3?" Umpatnya kesal.

Dia segera berjongkok, mulai mengambil satu tripod, memeriksa knop atas, yang sekali putar langsung copot.

"Kurang apa gue? Kurang gelar!" Akmal melempar tripod rusak itu ke tengah ruangan yang kosong.

Hanya di ruang ini lah dia bisa menumpahkan isi hatinya.

Sebagai salah satu pegawai lama, Bu Berta telah memperingatkan Akmal bahwa dia tak akan pernah bisa jadi manager selama belum mendapat gelar sarjana. Padahal Akmal pikir, apa bedanya? Toh dia selalu bisa beradaptasi dengan pekerjaannya. Dia selalu bisa menyelesaikan tugas dari bu Berta. Dimulai hanya dari seorang IT yang bertanggung jawab pada komputer, dia juga sudah pernah bantu membenarkan keran air lah, mengganti AC lah, betul-betul hampir semua pekerjaan yang harusnya bisa dikerjakan tukang.

Dan apa balasannya? Gelar karyawan terbaik.

Hanya itu.

"Yang gelarnya tinggi tapi kerjanya ngang ngong? Gaji puluhan juta. Manager pula." Dengan sekuat tenaga Akmal menggosok-gosok lap pada tripod yang berkerak kena kotoran cicak, "punya staf banyak malah dia angkut keluar semua. Giliran ginian gue lagi yang kerjain."

Lagi Akmal melempar benda itu ke tengah ruangan. Namun matanya tertancap ke sosok yang berdiri di pintu.

Sejak kapan dia ada di sana?

Erina senyum-senyum menyembunyikan tangan di belakang tubuhnya.

"Ngapain lo?" Akmal menahan kagetnya. Apa Erina mendengar semuanya ya? Apa tadi Akmal menutup pintunya? Akmal lupa saking emosinya.

"Siang mas Akmal Winarto. Kok jam istirahat lo mengurung diri di sini sih?"

"Erin lo jangan banyak omong ya. Keluar sana! Tutup pintunya!"

"Dari tadi emang kebuka gini kok."

Mampus! Tadi ada yang mendengar dia tidak ya?

Akmal buru-buru bangun. Studio enam ini terletak paling ujung. Tidak dilalui area tangga dimana orang biasa bolak-balik. Tapi kalau Erina ada di sini, berarti bisa jadi orang juga sempat ada di sini.

Sekesal-kesalnya dia pada Steve, dia lebih takut kehilangan pekerjaannya ini.

Akmal bergegas ke dekat pintu, celingukan ke kanan kiri.

"Kenapa Akmaaal?"

"Tadi ada yang dari sini? Lo kenapa ke sini?"

"Gak adaa. Lo kenapa?"

"Lo ngapain di sini Erin? Harus berapa kali sih gue nanya?"

"Gue nyari lo. Lo gak ada di atas. Kata pak Wahyu Lo juga gak ikut sama rombongan koh Steve. Jadi gue tebak lo pasti ada di sini."

MAS IT & MBAK SECRETARYWhere stories live. Discover now