The End

12.9K 512 26
                                    

Begitu ya ternyata cara cinta bekerja.

Ada manis yang digambarkan. Ada janji yang ditawarkan. Seolah setelah ini hidup akan lebih mudah. Takkan lagi ada susah.

Namun alur cinta dalam diri, segala pink yang mengaliri darah, mengembangkan hati, mengayun jiwa, rupanya hanya mimpi kasar dimana tak semua manusia bisa beruntung memilikinya.

Mungkin indah itu betulan ada. Mungkin seseorang diluar sana menerima megahnya cinta dengan mudah.

Tak seperti dirinya.

Itu yang Akmal rasa.

Toh dia tau bahwa cinta pernah memeluknya. Anak kecil yang duduk di kursi bayi di belakang itu adalah buktinya.

Dalam keadaan yang gamang, Akmal tetap bertekad mengantar Sheyna pulang karena dia tak kebayang kalau anak itu harus menyaksikan kegalauannya. Walau Sheyna sendiri tampak sudah menunjukkan pengertiannya sendiri, dengan selalu tidur sepanjang perjalanan.

Sesaat dia tiba di Tangerang, waktu sudah malam. Dia tak turun, membiarkan ibunya yang membuka pintu belakang untuk mengambil Sheyna lalu mengetuk-ngetuk kaca jendela bagiannya.

Akmal menurunkan kacanya, tetap menatap lurus kedepan, menahan air mata yang tak ingin dia tunjukkan.

"Gimana nak pertemuan hari ini dengan keluarga Erina? Apa ada hasilnya?" Tanya bu Haifa hati-hati. Dia bisa menebak jawabannya, namun dia mau memastikan saja.

Akmal tak mengatakan apa pun. Dia hanya menggeleng sambil mengusap hidungnya yang memerah.

"Gak apa-apa nak. Yang terjadi pasti yang terbaik. Yang penting kamu tenang ya. Jangan ngebut-ngebut."

Larangan bagaikan perintah bagi Akmal saat ini.

Bisa dibilang mobilnya melesat menyalip mobil-mobil lain. Tak peduli segala jenis kendaraan. Dia hanya ingin kembali ke rumahnya. Mau apa? Entah lah. Dia sendiri tak tahu.

Genangan air mata, sinar lampu belakang mobil lain, klakson-klakson di sekitarnya, keramaian semu yang semakin menyatakan kesendiriannya.

Satu pernyataan yang mungkin menimbulkan kontroversi bagi dirinya sendiri; apakah menjadi dewasa itu artinya harus bisa menahan sakit, atau melampiaskan sakit pada porsinya?

Kalau dia menahannya, rasanya hatinya mau meledak. Rasanya dia yakin tubuhnya bisa pecah jadi ribuan keping.

Jika dia melampiaskannya, ada rasa bersalah. Mengingat dia kini tak bertahan hidup hanya untuk dirinya sendiri. Tapi juga untuk Sheyna. Dia tak bisa mengelak, ada bagian dirinya yang ingin tetap tegar untuk Erina.

Biar bagaimana pun harus ada yang tetap berpikir jernih di jalan logika. Dia tak bisa sama panasnya dengan Erina dalam mempertahankan cinta mereka. Dia tak bisa egois.

Semakin kacau pikirannya, semakin erat remasannya ke kemudinya. Semakin kencang dia menekan gasnya. Dia tak memikirkan apa pun selain pulang.

*

Jejak Erina di rumah ini sudah terlalu lekat.

Ada sebuah majalah Vogue tertinggal di sofanya entah kapan gadis itu membelinya. Saat Akmal membuka pintu kamarnya, bukan wanginya yang menyeruak. Melainkan lotion vanila Erina yang seakan memeluk tubuhnya. Yang malah semakin membuat tubuhnya remuk.

Tangannya memegangi kusen pintu. Melihat betapa kosongnya ruangan ini sekarang. Tanpa Erina yang tersenyum lebar dibalik selimutnya.

Sabar. 

Sabar.

Tarikan napasnya begitu dalam.

Dia mencoba untuk menjalani semuanya seperti senormalnya.

MAS IT & MBAK SECRETARYWhere stories live. Discover now