Kini Asing

4.8K 552 36
                                    

Banyak inovasi baru setelah peresmian perluasan kantor. Salah satunya, saat jam istirahat Ang Siwa Learning Center ini sekarang ditandai dengan alarm panjang, diisi voice over seorang pria bernada ceria yang mengajak semua karyawan meninggalkan meja mereka segera.

Di ruang mini milik Erina, ada empat meja ditata saling berhadapan di depannya. Di meja bagian depan diisi Mimi dan Tata yang memang Erina pilih secara langsung untuk mendukung projectnya. Dua meja lainnya di isi oleh Ira dan Roni. Dua orang karyawan baru yang masih pendiam, tak terpengaruh hebohnya Mimi dan Tata.

"Mbak Erin, ikut kita makan yuk!" Ajak Tata. Hari ini dia memakai baju kuning motif polkadot yang cuma beda warna saja dengan gaun off shoulder punya Mimi yang warna pink.

"Kalian duluan aja ya. Saya gak laper." Jawab Erina berusaha sesantai mungkin. Padahal mumet di otaknya hampir membuatnya mau merasa menangis sepanjang waktu.

"Oke mbak. Kalau ada yang mau dititipin WhatsApp aja ya mbak." Kata Mimi.

Erina mengangguk. Dia menyaksikan keempat karyawannya itu keluar ruangan, membuatnya merasa lebih lega untuk memundurkan kursinya, melonjorkan kakinya sesaat.

Dan mulai berpikir keras soal bebannya.

Pertama, tentunya menjadi kepala project bukan hal yang mudah. Dia harus menyusun semua rencana sendirian, harus menghapal semua prosedur koordinasi dengan divisi lain, harus memantau pergerakan operasional agar tidak melebihi dana yang dianjurkan finance.

Belum lagi masalah pribadinya bersama sang ayah.

Pembicaraan terakhir mereka benar-benar jadi momen pertama yang menyakiti hati Erina sedalam-dalamnya. Malam itu dia minggat dengan barang seadanya ke hotel dekat kantor. Posisinya pun tak bisa berkata pada siapa-siapa. Apalagi pada Akmal karena ungkapan pak Rudolf itu pasti akan sangat menyakiti hati Akmal juga yang memiliki anak dari seorang ibu penjahat. Pasti tak ada orang tua yang suka kalau anak mereka diprediksi jadi anak yang akan selalu berhubungan dengan kejahatan.

Kali ini jelas pak Rudolf sudah keterlaluan.

Lalu bagaimana?

Erina tak mungkin menikahi Akmal tanpa membawa serta Sheyna. Jujur, dia pun mulai terbawa sayang ke anak itu. Dimana setiap pagi Akmal selalu forward pesan dari ibunya di Tangerang berupa foto manis Sheyna yang baru diambil. Ada rasa ingin melindungi anak itu. Apalagi setelah prediksi jahat yang pak Rudolf sampaikan, rasanya Erina mau mengurung Sheyna disampingnya dan memastikan anak itu tumbuh dengan baik bersamanya.

Rasa nyeri akan buah pemikiran ini membuat tangis luruh di pipi gadis itu.

Saking gemetar tangannya, Erina susah payah mencabut tisu, menahan air mata dengan mengusap bawah matanya sebelum melewati pipi lagi. Namun tangisnya terlalu deras untuk ditahan segera.

Saat itu, mendadak pintu terbuka. Sang pengunjung jelas kaget dengan kesedihan di wajah kekasihnya.

"Kamu nangis?" Dia bertanya sambil masuk, menyerat kursi di depan Erina untuk membawanya duduk disamping gadis itu.

"Sayang ... " Erina menghambur ke pelukan Akmal. Membenamkan wajahnya ke dada lelaki itu. Tak peduli pada kemungkinan make up nya menempel ke kemeja biru Akmal.

"Iya sayang, kenapa kamu? Ada apa?" Akmal meletakkan satu paket pisang Sunpride yang dia bawa ke meja lalu balas memeluk tubuh Erina.

"Aku gak tau gimana ceritainnya."

Usapan Akmal di rambut Erina melambat. Erina yakin lelaki itu sudah tau maksudnya, "tentang kita dan papa kamu ya?"

"Tepatnya tentang aku dan Sheyna. Tentang betapa malangnya kami yang lahir dari sosok orang tua penjahat hingga kini hal buruk menghantui masa depan kami. Ditambah mata orang yang pastinya akan selalu menganggap kami rendah." Erina membalas dalam hatinya. Tapi dia tak tega, jadi ia hanya membiarkan dirinya diam.

MAS IT & MBAK SECRETARYWhere stories live. Discover now