Suatu Malam di Rooftop

11.3K 567 10
                                    

Hanya ada empat orang di rumah ini.

Namun meja makan panjang itu telah tersedia beragam jenis makanan sampai hanya sedikit saja area tersisa untuk makan.

Ini sudah jadi kebiasaan bagi keluarga Erina jika kebetulan sang ayah dan ibu tidak sedang dalam perjalanan dinas mereka.

Makanan pembuka, bisa dipilih antara bruschetta atau spring rolls. Untuk makanan utama ada pan seared salmon, lasagna, lamb curry, butter scallops dan tuna ginger oil. Dan dessert yang ada di meja yaitu mille crepes. Belum lagi patbingsu dan mango yoghurt yang ada di lemari pendingin. Semua makanan ini dimasak langsung oleh chef Harris, chef keluarga Rudolf yang sudah paling paham selera makan tuannya itu. Sebagai seorang chef profesional, Rudolf cenderung malas masak kalau di rumah dan dia juga malas menurunkan standar selera makannya.

Tak heran, pria paruh baya itu berseri-seri menatap menunya hari ini. Dia juga melihat kebahagiaan yang sama di mata istrinya, lalu kedua anaknya Erina dan Nathan, "jangan lupa bersyukur atas semua berkah makanan ini."

"Sudah Yah. Nathan boleh makan sekarang?" Nathan menatap tak sabar pada tuna incarannya. Lagian ayahnya aneh-aneh saja. Selera makannya sih internasional. Tapi dia menumpuk semua makanan diawal, tidak mau disiapkan sesuai urutan makannya.

"Belum. Lapor dulu dong, sejauh mana progress kerja kamu Nate?"

Nathan melirik ke kakaknya, Erina mengangkat bahu. Sebelumnya kakak beradik ini sudah banyak merangkai rencana untuk masa depan Nathan. Persis seperti Erina yang ogah meneruskan perusahaan ayahnya, Nathan juga meminta waktu satu tahun untuk menggapai pekerjaan impiannya sebagai fotografer. Tapi Erina tak bisa membantu banyak lagi setelah apa yang Nathan lakukan waktu Erina mengenalkan Nathan pada kawan model-model dan fotografernya, Nathan malah sibuk gonta ganti pacar.

"It's actually ... great," senyum Nathan melebar palsu, "kemarin tes dengan dua perusahaan rekanan kontes pageant terbesar di Indonesia. Katanya sih mereka lagi mempertimbangkan."

Rudolf memperhatikan pengakuan Nathan, memperhatikan anggukan serius Erina. Erina anak sambungnya, Nathan anak kandungnya. Entah kenapa mereka berdua jadi semakin mirip setiap harinya. Kecuali Nathan yang agak lebih bule dan Erina yang gemar berjemur, gestur mereka saja persis.

"Kakak Erin, adiknya dibimbing betul-betul kan?" Todong Rudolf pada Erina.

"Iya dong Pa. Nathan punya koneksi dari mana kalau bukan dari Erin?"

Mama Christy mengusap rambut panjang anaknya, "bagus. Kalian memang harus sering-sering bersama dan saling tukar pikiran ya."

"Selalu." Kata Erina.

"All the time." Tambah Nathan kompak.

"Ya sudah, kita mulai makan ya." Pak Rudolf memulai dengan mencomot spring rollsnya.

*

Kamar Erina terletak di lantai dua. Ruangan luas itu punya satu ranjang king di tengah ruangan, menghadap sebuah televisi raksasa yang dia sendiri tak ingat, kapan terakhir tv itu menyala.

Ketika pindah, papa Rudolf telah membebaskan dekorasi kamar anaknya. Untuk Erina sendiri mendambakan kamar ala hotel, agar dia merasakan seolah dia sedang staycation sepanjang waktu. Itu lah kenapa kamarnya sangat terang kalau semua lampu dinyalakan. Dia punya lampu led di plafon, lampu-lampu di meja hias, lampu tidur di meja, semuanya menyala. Saat pintu terbuka dan Nathan masuk, pemuda itu mengerjapkan matanya karena cahaya silau.

"Lo sinting ya kak? Lampunya kok dinyalahin semua?"

"Ya terserah gue lah!" Erina mengikat kembali tali kimono satinnya, bangun duduk bersila di kasurnya.

MAS IT & MBAK SECRETARYWhere stories live. Discover now