XL. Too Late

7.9K 1K 288
                                    

Afsheen mencoba untuk menggerakan tangannya, namun gemerincing dari rantai yang mengikat tangannya bergema. Dia menelan saliva, masih mencerna situasi ini. Sepertinya tadi dia masih menikmati waktu makan malam hingga pengurus mansion datang membisikan sesuatu kepada Dane dan... tiba-tiba Afsheen mengerutkan kening kesakitan. Posisinya yang dipaksa berdiri oleh kedua rantai yang menarik tangannya ini membuat kakinya mati rasa karena terus berdiri.

Bau lembap dan pengap ruangan tanpa jendela dan cahaya selain lilin membuat Afsheen bertanya-tanya apakah dirinya berada di ruang bawah tanah?

"Tuan Duke? Di mana anda?" Dengan suara serak karena tenggorokannya yang kering, Afsheen berusaha memanggil. "Jangan bermain-main, tolong lepaskan aku."

Hening. Bahkan di ruangan ini, hanya nafas Afsheen yang terdengar. Afsheen tidak tahu harus melakukan apa lagi selain menarik tangannya, berharap rantai itu rapuh dan terlepas.

Jika memang ini perbuatan Dane, Afsheen tidak tahu apa kesalahannya. Sejauh ingatannya, Afsheen merasa dia dan Dane tidak pernah memiliki dendam satu sama lain.

Kening Afsheen mengernyit dalam, bibirnya memutih dan pecah-pecah. Keringat mengalir dari melipisnya meluncur ke dagu. Matanya mulai memerah dan nafasnya sedikit melemah.

Di kala Afsheen menggigit bibir pucatnya dengan kepala tertunduk lesu, beberapa hal memasuki benaknya secara tiba-tiba. Seharusnya dia sudah bisa melihat bahwa semua hal ini aneh. Mansion ini, hutan ini—dan poin yang paling penting, Dane. Ya, Dane menjadi pelaku yang kini Afsheen pikirkan.

Penyerangan di hutan itu, apakah itu sungguh-sungguh pembunuh yang menargetkannya? Atau...

Derap langkah menggema secara jelas di ruangan kosong itu. Semakin lama suara derap itu semakin terdengar jelas, membuat jantung Afsheen berdetak semakin cepat. Pundak, leher dan kakinya terasa sakit, keringat dingin semakin bercucuran di tubuhnya. Dia merasa bisa pingsan di detik berikutnya.

"Tuan Duke?" Tanya Afsheen lemah, dengan suara yang menggema ke penjuru ruangan.

Derap langkah terhenti sejenak, lalu kemudian terdengar lagi. Tetapi tidak ada sahutan. Kesunyian ini menimbulkan perasaan gelisah, tetapi fisik Afsheen tidak membiarkannya merasakan semua hal itu. Satu-satunya yang bisa dia pikirkan hanya kesakitan dan kelelahan seolah dia telah berada di ambang batasnya.

"Maafkan saya." Suara berat itu tiba-tiba terdengar, membuat Afsheen berusaha menegakkan kepala ketika melihat sepasang sepatu berhenti di depan matanya.

Seharusnya Afsheen tidak kaget lagi melihat siapa yang berdiri tenang beberapa meter darinya, tetapi tetap saja pupil matanya menyusut. Setelah beberapa saat tenggorokannya tercekat, akhirnya tawa serak lolos dari mulutnya. "Tuan Duke, ini tidak lucu, bukan?"

"Ya." Dane menatap wanita di hadapannya tanpa ekspresi yang berubah sedetik pun, bahkan Afsheen penasaran apa yang ada di pikiran pria itu saat ini.

"Aku mengira kita berteman, tidak ada kebencian di antara kira." Afsheen berkata getir. "Atau... Apakah aku salah?"

Dane tetap serius menatap Afsheen. "Anda benar. Tidak ada kebencian di antara kita. Tapi..."

"Ada tapinya?" Afsheen mengekeh.

Jeda sejenak, sebelum pria itu melanjutkan, "Anda bukan entitas dari dunia ini."

Mata Afsheen melebar. "A-apa maksudmu?"

"Nona, anda bukan Lady Sheena. Anda hanyalah entitas asing yang mencuri identitasnya."

Kata-kata Dane menusuk lubuk hati Afsheen yang terdalam. Dia benar, Afsheen bukan berasal dari dunia ini. Bahkan jika Dane tidak mengatakan itu sekarang, Afsheen masih melupakan fakta bahwa dia hanyalah orang asing yang terjebak di dunia aneh ini.

King of the CrueltyWhere stories live. Discover now