XIX. Intruder

14.8K 3.1K 119
                                    

Dua laki-laki itu menghentikan langkah mendengar isakan pelan Afsheen

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Dua laki-laki itu menghentikan langkah mendengar isakan pelan Afsheen. Berbalik, mata Shay terbelalak melihat gadis itu memandang lukisan di dinding sembari menangis.

Dengan langkah panjang dia mendekat dan memegang pundak adiknya. “Kenapa menangis?”

“Aku rindu Bunda,” cicit Afsheen sembari menutup wajahnya.

Shay melirik lukisan di depannya dan menghela napas. Dia menarik Afsheen ke dalam pelukannya dan mengelus rambutnya lembut. “Jangan menangis. Ibu tidak akan senang melihatmu seperti ini.”

“Ah, benar.” Afsheen menjauhkan wajahnya dari dada Shay. “Di mana Bunda? Aku ingin menemuinya!”

Bisa jadi itu Bunda di dunianya, bukan?

“Sheen,” Shay menatapnya dengan rumit. “Apakah kita harus memeriksamu di dokter dengan teliti?”

Afsheen memiringkan kepalanya, menatap laki-laki itu polos. “Kenapa?”

“Kau hanya mengingat Ibu kita? Lagi pula... Ibu sudah meninggal sejak kau masih kecil.”

Mata Afsheen melebar. Tidak mungkin! Tapi itu Bundanya. Sangat mirip. Bahkan dia berharap Bundanya juga pindah ke dunia ini sehingga dia tidak mengalami culture shock sendiri.

“Sepertinya Lady benar-benar harus diperiksa, bukan?” timpal Dane yang sedaritadi diam.

“Aku setuju.” ujar Shay mengangguk membenarkan. Dia menatap Afsheen yang termenung dan menghela napas. Dia merasa adiknya berubah banyak sekarang.

***

Afsheen berdiri di depan pemakaman yang terlapisi batu marmer. Melihat foto yang terpampang di sana, dadanya sesak dan matanya terasa memanas.

“Bunda... kenapa di sini Bunda tidak ada?” lirih Afsheen masih tidak menerima kenyataan.

Rasanya seperti diberi harapan lalu dihempaskan dengan kuat. Harapan bahwa Bundanya juga ada di sini, namun ternyata malah hanya berupa lukisan dan pemakaman.

Dengan cepat dia menepuk pipinya. Tidak, ini bukan dunianya. Bundanya pasti masih hidup dengan baik di Bumi. Sedangkan yang di sini hanyalah suatu kesamaan. Afsheen tidak tahu kenapa ini bisa terjadi.

Dia pernah ke perpustakaan istana, namun tidak ada sedikit pun informasi tentang kejadian sepertinya. Jadi yang dapat disimpulkannya, dia adalah orang pertama dari dunia luar yang berbaur dengan masyarakat di sini. Meski kemungkinan ada yang lain.

Gadis itu menghela napas pelan sembari mengusap matanya. Tidak ada yang perlu ditangisi. Yang perlu dia lakukan adalah menunggu keajaiban untuk pulang sama seperti keajaiban yang membawanya datang ke sini.

Di dunia nyatanya, Afsheen anak tunggal namun memiliki banyak sepupu yang baik dan mereka saling menjaga. Kebetulan sekali dia hanya memiliki sang bunda, sedangkan ayahnya entah pergi ke mana karena sejak kecil dia tidak pernah melihat sosoknya.

Meski merindukan rumah, Afsheen tidak munafik soal menyukai dunia ini. Memang menyenangkan. Dia kaya di sini dan banyak petualang seru. Apa lagi banyak pria tampan. Siapa yang tak betah?

Selagi masih punya kesempatan bersenang-senang di sini, Afsheen akan menikmatinya dengan baik. Mari lupakan tentang rumah beserta segala sesuatu di dunia aslinya. Bagi Afsheen, anggap saja refreshing. Mungkin Tuhan merasa hidupnya begitu membosankan sehingga mengirimnya ke sini.

Setelah memikirkan tentang ini, Afsheen kembali bersemangat. Benar, dia tidak boleh terbawa suasana.

Merasa lebih lega, Afsheen melangkah pergi dari sana. Tak jauh dari sana, pelayan yang menjaganya segera memayungi gadis itu untuk kembali masuk ke mansion.

Pada malam hari Afsheen duduk di sofa sambil menatap Chandler dan Shay datar.

“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan mengenai Lady Sheena. Selain kelelahan, Lady dalam kondisi yang sehat.” ujar dokter yang baru saja memeriksa Afsheen.

“Nah, dengarkan kata dokter baik-baik.” ujar Afsheen kesal.

Padahal sedari tadi dia sudah berkata bahwa dirinya baik-baik saja. Namun dua pria berotot itu bersikukuh mendatangkan dokter untuk memeriksanya secara keseluruhan.

Nampaknya Chandler tidak puas. “Benarkah putriku baik-baik saja? Aku ayahnya. Bagaimana bisa dia tidak bisa mengingat aku sejak awal?”

“Bahkan aku juga.” timpal Shay.

Dokter itu memperbaiki kacamatanya sambil tersenyum samar. “Lady Sheena lupa ingatan, tapi tidak semua ingatannya. Kemungkinan kenangan bersama Duchess sangat besar sehingga meninggalkan kesan terdalam.”

“Tapi—”

“Ya ampun. Badanku sakit semua.” ringis Afsheen yang dibuat-buat sambil memegang pinggangnya kemudian dia mendorong Chandler menuju pintu.

“Aku harus tidur sekarang. Ayah, kakak, dokter. Selamat malam.” Setelah mengatakan itu, dia langsung menutup pintu dihadapan mereka tanpa ragu.

Afsheen dengan lega melangkah gontai menuju kasur. Berbaring ditempat yang empuk itu, perlahan matanya memejam.

Sepuluh menit kemudian..

Mata Afsheen terbuka lebar. Dia menghempaskan selimut yang membungkusnya dengan kasar sambil berjalan menuju jendela kamarnya yang terbuka. Dia melirik luar jendela, angin cukup kencang malam ini.

Saat hendak menutup jendela, matanya terpaku pada bayangan yang berasal dari belakang. Dia meneguk salivanya.

“Ah, sepertinya jendela rusak.” gumamnya kikuk berusaha tidak terlihat ketakutan dan berjalan pergi dalam kondisi kamar yang gelap.

Tubuh gadis itu membeku merasakan tangan yang melilit di lehernya dengan sesosok orang yang berdiri menempel di belakangnya.

Sosok itu menurunkan kepala, sehingga Afsheen bisa merasakan deru napasnya di tengkuknya. Dia menggertakkan gigi, tatkala hendak mengangkat kaki menendang ke belakang, kekehan berat terdengar di telinganya.

“Sudah kubilang kita akan bertemu lagi, Lady Sheena.”

June 20, 2021

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

June 20, 2021.

King of the CrueltyWhere stories live. Discover now