XXXIX. Here

8.7K 1.2K 235
                                    

Tangan yang mencengkram pergelangannya sangat dingin. Afsheen bergidik dengan jantung berdebar kencang karena ketahuan membuat ulah. Perlahan menolehkan kepala, wanita itu agak mendongakkan kepala agar bisa menatap wajah sosok yang berdiri di belakangnya.

"Tuan Duke? Dari mana saja anda?" Seolah ingin menyembunyikan rasa bersalahnya, Afsheen menyapa dengan cengiran, tidak menyadari bahwa beberapa titik di wajahnya sudah mengeluarkan keringat dingin.

Tatapan Dane menyapu kening Afsheen, kemudian perlahan melepaskan tangan Afsheen dan mundur selangkah. "Saya baru saja memeriksa situasi di luar. Apa yang anda lakukan dengan pintu ruang bawah tanah, Lady?"

Afsheen cukup terkejut. Bukannya berusaha menyembunyikan hal ini, Dane malah bertanya kepadanya secara gamblang, seolah tidak ada sesuatu yang berarti di bawah sana.

Dane melirik tangga yang gelap. "Pemilik mansion sangat menyukai sejarah, sehingga buku-buku yang menurutnya tidak penting dia pindahkan ke ruang bawah tanah. Seharusnya sudah cukup lama tidak pernah ada yang ke ruang bawah tanah sehingga penuh debu dan serangga." Pandangan Dane kembali ke Afsheen. "Apakah anda ingin melihat-lihat? Saya bisa menemani anda."

Afsheen segera bergidik ngeri. "Jika tidak pernah ada yang ke sana, berarti tidak pernah dibersihkan dan itu artinya banyak sarang laba-laba. Kita juga tidak tahu binatang apa saja yang telah berkembang di sana. Aku tidak akan menginjakkan kaki di tempat seperti itu!"

Sudut bibir Dane sedikit terangkat. Jemarinya yang baru saja menggenggam Afsheen kini saling mengusap, seolah tengah mengenang sesuatu di sana. "Baiklah, jika itu keinginan anda."

Tanpa berkata apapun, Dane menjentikkan jarinya, menutup ruang bawah tanah.

Afsheen mencuri pandang pada lantai. Bagaimana Dane tahu isi ruang bawah tanah sedangkan dia saja adalah pengunjung baru mansion ini?

Namun pertanyaan yang baru melintas di benaknya itu lenyap ketika dia melihat Dane berbalik pergi.

"Tadi anda bilang anda baru saja melihat situasi di luar? Bagaimana?" tanya Afsheen setelah berhasil mengejar langkah Dane yang saat ini melangkah keluar dari perpustakaan.

Meskipun Afsheen belum merasa puas berada di perpustakaan tersebut, namun sosok Dane lebih penting.

"Ada beberapa mata-mata yang mulai mengincar mansion ini. Saya harap Lady tidak keluar sendirian tanpa sepengetahuan saya." Dane melirik Afsheen dari sudut matanya. "Apakah anda bisa melakukannya, Lady?"

"Kenapa? Bukankah anda bisa langsung menghabisi mata-mata itu jika tahu keberadaan mereka?" Afsheen memandang Dane bingung. "Jika terus seperti ini, kapan kita bisa bebas?"

"Bebas?" Dane fokus pada satu kata itu sambil mengekeh. "Ada saatnya. Jangan menakuti musuh."

Entah mengapa Afsheen merasa kata-kata Dane sangat berarti. Dia meliriknya tak pasti, namun pada akhirnya hanya bisa membungkam.

"Tuan Duke... Apakah ada kabar dari istana?" Wanita itu bertanya pelan, tatapannya sedikit kosong memandang lorong di hadapannya. "Misalnya Kaisar yang mencariku?"

Hening sejenak.

"Tuan Duke?"

Dane menghela nafas pelan. "Mansion ini cukup jauh dari kota, Lady. Sehingga kita memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi dengan dunia luar."

"Tapi bukankah ada cara lain? Misalnya saja mengirim elang atau merpati yang membawa pesan ke istana, melaporkan penyerangan ini."

"Mansion ini tidak memiliki hewan pembawa pesan, Lady." Dane mendorong pintu ruang makan. "Waktunya makan malam."

Afsheen mengerutkan bibirnya, mengekori Dane dan duduk di salah satu kursi. Beberapa pelayan perlahan menyediakan hidangan di hadapannya.

Pandangan wanita itu menyapu makanan di atas meja, lalu bertanya-tanya di dalam hati. Bagaimana mereka mendapatkan bahan masakan ini?

Afsheen mulai makan steak di hadapannya, hingga beberapa saat kemudian, pengurus mansion muncul untuk membisikkan sesuatu ke telinga Dane.

Meski tidak begitu kentara melihat, Afsheen tetap saja diam-diam melirik ekspresi Dane. Namun dia tidak bisa melihat perubahan apapun di sana.

Setelah menghabiskan makanannya, Afsheen menyesap anggur yang telah disiapkan. Baru tiga kali menyesap, kepalanya tiba-tiba menjadi berat. Pandangannya perlahan buram dengan kesadaran yang semakin menipis. Hal terakhir yang bisa dia lihat adalah sosok Dane yang masih memotong steak dengan tenang.

***

"Sudah sebulan sejak terakhir kali ada pengunjung di mansion ini, dan pengunjung itu adalah pemilik mansion ini sendiri." Pria paruh baya yang mengenakan jas perak berdiri di depan rombongan ksatria dengan senyum tulus, menjelaskan pertanyaan yang telah diajukan kepadanya.

"Yang Mulia." Jendral Loth menatap Keigher yang sejak tadi diam, menunggu perintahnya.

Keigher melangkah masuk melewati pengurus mansion dan mengedarkan pandangan. Kaki berbalut sepatu boots-nya mengelilingi lantai satu. Meski kelihatannya dia melihat sekilas, namun setiap sudut tidak luput dari pandangannya.

"Siapa pemilik mansion ini?" Suara Jendral Loth terdengar di belakangnya, saat Keigher menaiki tangga menuju lantai dua.

Pengurus mansion mengamati Keigher, dan segera mengikuti sembari menjawab pertanyaan Jendral Loth.

"Lantai dua dikhususkan untuk kamar tidur, baik itu kamar tidur utama, maupun tamu." Penjaga mansion masih melakukan tugasnya untuk menjelaskan apapun yang mereka lewati.

Keigher berhenti di depan sebuah pintu dan mendorongnya. Sebuah kamar minimalis yang sangat rapi tanpa ada tanda ditempati itu memenuhi pandangannya. Pria itu tidak beranjak, apa lagi saat dia menundukkan kepala.

"Menetap." Suara dingin pria itu terdengar.

Pengurus mansion menatap Keigher bingung sebelum Jendral Loth berdiri menutupi sosok Keigher dari pandangan pengurus mansion.

"Kami sedang melakukan perjalanan jauh menuju suatu tempat dan membutuhkan penginapan." Jendral Loth mengeluarkan sekantong uang lalu melemparkannya ke pengurus mansion. "Ini sebagai biaya menginap."

Pengurus mansion melebarkan mata, dia hendak melirik Keigher, namun pintu kamar tersebut perlahan tertutup, menghilangkan sosok pria itu.

Tanpa orang lain mengawasinya, Keigher perlahan berlutut dengan satu kaki. Tangannya terulur mengambil sehelai rambut di lantai, sebelum menggenggamnya erat.

"Dia di sini."

***

Afsheen bisa merasakan lengannya pegal dan sakit, terutama di bagian pergelangan tangan. Meski kesadarannya belum sepenuhnya pulih, dia juga bisa merasakan kakinya sedang berpijak pada lantai.

Kening Afsheen mengernyit. Penasaran dengan situasinya saat ini, perlahan matanya terbuka. Rasa pusing itu masih ada dan menusuk-nusuk kepalanya. Pandangannya yang kabur perlahan mulai jernih.

Tertegun, Afsheen tidak tahu di mana dia sekarang. Di hadapannya hanya berupa dinding kusam dengan obor yang menempel di dinding. Rasa sakit dan lelah ditubuhnya semakin terasa sehingga perlahan Afsheen menundukkan kepala untuk melihat kondisinya dan kembali tercenung.

Karena pasalnya, kini, kedua tangannya terentang dengan rantai yang mengikat, berdiri di tengah sebuah lingkaran merah dengan mantra-mantra aneh di dalamnya.

TBC

June 15, 2023.

Afsheen kenapa nichhh.

Vote dan comment jangan dilupaaa.

See you next part💕

King of the CrueltyWhere stories live. Discover now