11. Tempat dan Ruang

40 12 2
                                    

Bersenandung riang sembari mengerjakan tugas sekolah Minggu lalu yang esok hari akan dikumpulkan seharusnya membuat Mentari kelabakan. Sayangnya, dia tipe manusia yang gemar sekali menunda pekerjaan sekolah. Dia tahu itu buruk, tapi kadang-kadang sesuatu yang acapkali dianggap buruk memiliki bagian baik yang lebih banyak terkurung. Seperti otaknya yang mendadak dapat berpikir lebih cepat karena terhimpit waktu untuk segera diselesaikan.

Sesaat setelah Mentari sibuk dengan pekerjaan sekolahnya, Hengki muncul menerobos jendela kamar Mentari yang tidak terkunci.

Mentari terkejut, menghentikan segala kegiatannya. "Bisa gak, sih, kalo masuk kamar gue itu lewat pin—" Kalimatnya menggantung di udara begitu saja.

Hengki berjalan gontai kearah tempat tidur Mentari. Wajahnya lusuh, ada memar disudut matanya, rambutnya lebih berantakan dari terakhir kali Mentari melihatnya—mungkin perasaannya jauh lebih berantakan. Bau aroma rokok menyeruak masuk pada indera penciuman Mentari saat Hengki melewatinya. Setelahnya, Hengki merebahkan tubuhnya di atas kasur Mentari, pandangannya kosong menatap langit-langit kamar Mentari.

Mentari menelan ludahnya susah payah, dia memutar kursi belajarnya menatap Hengki, meninggalkan setumpuk pekerjaan sekolahnya yang belum rampung.

"Heng ...." panggil Mentari pelan dan lembut.

"Gue berantem lagi, Tar," kata Hengki gusar, "sama bokap."

Rasanya sesak tiap kali Mentari melihat Hengki menunjukkan sisi paling lemah pada dirinya. Tiap kali Hengki datang padanya dengan begitu berantakan dan bau rokok yang memenuhi seluruh tubuhnya membuat Mentari sakit.

Ada jeda cukup lama menyelimuti ruang kamar Mentari, dia bisa mendengar Hengki berkali-kali membuang napas panjang. Sesekali aroma rokok di tubuh Hengki juga tercium kembali.

Hengki ini perokok berat, sejak sekolah menengah pertama. Mentari pertama kali melihatnya merokok di semak-semak belakang rumahnya. Tapi bukan cuman asap rokok yang mengepul dari mulut Hengki saja yang dia lihat, ada air mata yang membasahi pipi anak laki-laki itu. Sejak hari itu, Mentari untuk pertama kalinya menyimpan rahasia besar Hengki.

"Awas, ya, lo, Tar. Janji gak bakal bilang sama papa gue, kalo gue ngerokok!"

Mentari waktu itu hanya mengangguk karena takut, tidak ada janji jari manis. Hengki melewatinya, pergi begitu saja.

Mereka berdua memang punya hubungan pertemanan yang cukup kompleks sedari kecil. Karena Hengki kecil gak pernah suka dibuntuti Mentari. Ribet. Selain ribet, Hengki males mendengar teman-teman disekitar perumahannya mengejeknya karena sering menghabiskan waktu bareng anak perempuan. Makanya, dari dulu Hengki lebih dominan dekat dengan Dikta alih-alih Mentari. Tapi semesta punya cara kerjanya sendiri untuk menyatukan manusia.

Kayak hubungannya dengan Hengki sekarang. Banyak gengsinya, tapi Mentari tahu mereka saling menyayangi dan melindungi.

"Gue mau naik gunung." Hengki kembali berkata. Kali ini dia duduk menatap mata Mentari dalam.

"Gunung mana lagi sekarang?"

"Bromo."

Mentari menghela napas, dia selalu tahu Hengki selalu melakukan hal ini ketika ada terlalu banyak riuh di semestanya yang gak bisa dia kendalikan.

"Sama siapa, Heng?"

Hengki diam sesaat sebelum kembali menjawab. "Sendiri, kayak biasanya."

"Mau sampai kapan?"

"Apanya?"

"Lari kayak gini."

Embusan dingin angin di luar masuk melalui jendela kamar yang terbuka lebar, tatapan Hengki jauh lebih dingin menusuk perasaan Mentari.

"Gue butuh tempat, Tari. Butuh ruang ...."

"Ada gue, Heng. Selalu ada gue buat jadi tempat dan ruang buat lo cerita."

Hengki merunduk, menatap lantai kamar. Matanya mendadak memburam namun segera diusap kasar. Dia kembali mendongak tapi tidak menatap kearah Mentari. Matanya mengelana keseluruh penjuru kamar sambil berkata, "Manusia itu dinamis, kan, Tar? Mereka akan selalu berubah. Gue gak akan siap kalo suatu saat akan ada yang berubah dari lo. Entah karena nantinya lo punya seseorang yang jadi prioritas dan gue harus dengan sadar mengikhlaskan tempat dan ruang gue jadi berkurang."

"Lo juga akan jadi bagian prioritas gue."

"Manusia itu punya skala prioritas utamanya, Tar. Yakin gue bakal jadi skala prioritas utama lo?"

Mentari terdiam. Dadanya terasa sesak, seolah ada begitu banyak bebatuan yang menghimpit dadanya.

"Yang gue lakuin sekarang ... itu karena gue gak mau ngasih beban apapun buat lo. Gue tau lo juga punya dunia lo sendiri, masalah lo yang ... gak pernah lo ceritain ke gue itu. Gue mau lo tetap berjalan di koridor lo tanpa kebawa-bawa gue."

"Jadi menurut lo sahabat, tuh, kayak gini, ya, Heng?" tanya Mentari nada bicaranya mulai menyurut amarah, tatapannya intens mengarah kepada Hengki. Tapi yang ditatap selalu lari.

Hengki mengangguk lemah. "Iya."

Harusnya Mentari gak berharap apapun, seharusnya dia selalu paham kalo Hengki adalah manusia paling kepala batu di seluruh semestanya.

Mungkin persahabatan yang baik menurut Mentari adalah yang akan selalu berbagi banyak hal, yang akan saling melindungi sampai sekuat yang dia mampu. Tapi bagi Hengki, Mentari gak tahu laki-laki itu mendefinisikan hubungan persahabatan mereka seperti apa. Hengki terlalu abstrak.

"Kalo gitu lo ngapain selalu cari gue buat nunjukin sisi lemah lo depan gue? Kenapa, Hengki? Itu apa namanya? Lo sengaja membangun tempat dan ruang di gue, kan?

Mentari begitu menggebu mengajukan rentetan pertanyaan untuk Hengki yang kini merundukan kembali kepalanya menatap lantai kamar.

"Jawab, Heng. Jangan diam aja!"

"Karena tadinya gue pikir gue bakal jadi satu-satunya," sahut Hengki dengan suaranya yang parau menatap Mentari, lalu kemudian dia kembali merunduk. "Tapi gue salah."

Hening.

Suasananya terasa dingin menebus pori-pori kulit Mentari. Dia paham apa maksudnya. Tapi ini Hengki—yang berbicara barusan adalah Hengki. Manusia abstrak yang Mentari sendiri gak tahu harus mendefinisikan laki-laki itu seperti apa. Mentari tidak ingin terlalu percaya diri juga tidak ingin berkecil hati. Dia ingin menjadi Mentari seperti biasanya saja.

"Malam ini gue berangkat ke Malang naik kereta, gue cuman mau ngingetin lo aja. Kalo bokap tiba-tiba kesambet nyariin gue, lo bilang aja gak tau," ujar Hengki lalu dia berdiri merogoh sesuatu dari celana jeans robeknya. Secarik kertas disodorkan kearah Mentari yang sejak tadi diam membisu.

"Buat lo, kalo gue ilang kabar lo baca aja itu."

Mentari tersentak, masih membisu. Hengki lalu menaruh secarik kertas yang digulung kasar itu di atas meja belajar sahabatnya.

"Gue cabut, ya," kata Hengki lalu mengusap pelan puncak kepala Mentari.

Setelah itu, Hengki meloncati jendela kamar Mentari. Lalu terdengar suara rintihan, Mentari tebak laki-laki itu pasti tersandung seperti biasanya. Kemudian senyap. Mentari tidak mendengar apapun lagi.

Bersambung ...

________________

Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar, ya! Love u all seperti<33

Puasa yang rajin, ya.✨🌷

Follow my Tiktok account;
@tulisanmanda

Romansa Patah HatiWhere stories live. Discover now