24. Hubungan Tanpa Status

34 12 0
                                    

Akhir-akhir ini Mentari mulai merasa ada yang berbeda dari Rakha, dia tahu laki-laki itu mungkin sudah mulai disibukan dengan kelas tambahan tiap sore nya, ujian praktik yang menanti sepanjang hari, les ini-itu yang seabrek belum lagi kesibukan mempersiapkan diri untuk masuk perguruan tinggi impian.

Lain dari semua kesibukan Rakha sebagai kelas dua belas yang semakin harinya semakin mencekik, Mentari merasa perubahan Rakha bukan lagi tentang itu.

Keduanya sudah tidak lagi pergi sekolah bersama—tepatnya, Rakha yang sudah berhenti menjemput. Agenda saling menunggu di parkiran sepulang sekolah juga sudah tidak dilakukan, bahkan sekadar menyapa lewat telepon ataupun mengirim pesan tidak ada. Rakha seolah ingin menghindar.

Sambil mengaduk-aduk kuah bakso yang masih mengeluarkan asap panas, Mentari mengosongkan pandangannya ke depan. Pikirannya terus berputar bak kaset kusut, apakah dia melakukan kesalahan? Hal-hal seperti itu terus-menerus memenuhi pikiran Mentari.

"Tar! Tari!" panggil Meyda yang sontak membuat Mentari terkejut.

"Bengong mulu, sih, lo!"

"Sori, sori."

"Beban hidup mana lagi, sih, yang lo pikirin," sarkas Meyda sembari menyedot es telernya.

"Kak Rakha kayaknya menghindar, deh, dari gue Mey."

Alis Meyda bertaut, bingung. "Lagi sibuk uprak kali bentar lagi, kan, lulus."

"Tadinya juga gue mikir gitu, tapi kayaknya kak Rakha emang sengaja aja buat menghindar."

"Masa, sih? Buat apa coba dia menghindar?" kata Meyda tak percaya.

Kuah bakso Mentari sudah dingin, tapi selera menikmati baksonya sudah lenyap tertelan pikiran-pikiran tentang Rakha.

"Mana gue tau," ujar Mentari mengangkat bahu.

Meyda berdecak kesal, "Itu lo overthinking bodoh!"

Panjang umur! Orang yang sejak tadi menjadi topik perbincangan Mentari dan Meyda tiba-tiba saja berjalan kearah kantin bersama temannya yang sudah dikenali—Gama.

Mentari refleks menunduk ketika Rakha mulai mendekat kearah mejanya dan Meyda.

"Tari!"

Lain Rakha, Pepi lah yang menyapa dan menghampiri mejanya. Mentari mengangkat wajahnya, balas menyapa sembari tersenyum yang terlihat sekali dipaksakan.

"Iya, Kak."

Jujur saja dia berharap Rakha berhenti dan ikut menyapanya, naas. Laki-laki itu berlalu—tanpa melirik sedetikpun. Hatinya mencelos.

"Nanti jangan lupa pulang sekolah kita latihan padus dulu, ya." Mentari mengangguk, menarik sudut bibirnya agar tersenyum.

Pepi seharusnya sudah tidak terlibat lagi dengan kesibukan ekstrakurikuler sejak dirinya menginjak kelas dua belas. Tapi karena paduan suara adalah ekstrakurikuler yang jumlah anggotanya sedikit jadi Pepi masih sering dilibatkan meski sudah tidak menjabat. Dan lagi, suara Pepi yang paling juara di sekolah. Sejauh ini, belum ada yang mengalahkan kebolehan suara Pepi. Mentari mengakuinya.

"Kan! Gue bilang juga apa!" seru Mentari sepeninggalan Pepi yang kini sudah bergabung di meja Rakha dan duduk manis di samping kekasihnya—Gama.

"Kok, bisa, sih?"

Meyda masih tak habis pikir, gadis itu begitu berani terang-terangan mengamati pergerakan Rakha di mejanya yang sepertinya dengan sengaja memilih duduk memunggungi meja Mentari dan Meyda.

"Gak tau, Mey," sahut Mentari yang semakin memelas.

"Lo ada salah kali sama kak Rakha?"

"Kalo itu gue gak tau, kalo pun emang ada salah di gue harusnya bilang jangan malah silent treatment!"

Romansa Patah HatiWhere stories live. Discover now