3. Nasi Goreng

207 105 6
                                    

Kebanyakan sepakat bahwa Jakarta adalah kota yang pada penduduk, kota yang memiliki banyak gedung pencakar langitnya dan kota metropolitan yang keras. Mentari juga sepakat kalo soal itu, Jakarta memang banyak menyakitkan. Dari Jakarta Mentari banyak menemukan dan kehilangan.

Menemukan orang-orang aneh yang berkeliaran disekitar hidupnya. Yang datang tanpa diundang, yang menetap tanpa diminta, yang bersikeras masuk meski sudah ditolak mentah-mentah juga ada. Tapi yang paling sering, Jakarta merenggut begitu banyak kehilangan dihidupnya. Salah satu kehilangan paling menyakitkan adalah ibu.

Satu tahun lalu ibu menjadi korban tabrak lari. Korban yang tak dipertanggung jawabkan. Jakarta turut andil menjadi bagian ketidakadilan yang menimpa ibu.

Sampai hari ini Mentari masih mengingat dengan jelas bagaimana ibu tersenyum manis untuk berpamitan pergi ke pasar hendak membeli bahan masakan untuk hari ini. Jika saja hari itu Mentari tahu bahwa ibu akan menjadi korban tabrak lari, dia bersumpah tidak akan menolak kala diminta untuk menemani berbelanja ke pasar.

Tanpa sadar air matanya berderai, hanya dengan menatap jalanan yang menjadi tempat di mana nyawa ibu terenggut tanpa keadilan, membuat Mentari berdiri kaku. Kakinya tak berani melangkah menyebrang. Bayang-bayang ibu kesakitan menyeruak diingatkan. Detik berikutnya, kaki Mentari perlahan mundur kemudian dia terkulai lemas di trotoar.

"Tar?!" seru seorang laki-laki. Lalu berlari terburu-buru menghampiri, wajahnya kentara menunjukkan kekhawatiran.

"Hengki," gumam Mentari pelan ketika mengetahui sosok sahabatnya yang menghampiri. Setelahnya, laki-laki bernama Hengki itu memeluk erat tubuh Mentari yang masih terduduk lemas di trotoar.

"Gak apa-apa, Tar. Ada gue, gak apa-apa," ujar Hengki yang lalu mendapat pelukan lebih erat dari Mentari. Gadis itu seolah ingin mengatakan bahwa dia ketakutan setengah mati.

"Gue takut, Heng," ucap Mentari sengau.

Hengki menepuk pelan pundak Mentari seraya berkata, "Ada gue sekarang, jangan takut."

Keberadaan mereka menjadi tontonan publik sesaat, sebelum akhirnya Hengki membawa Mentari duduk disalah satu kursi halte bus. Melihat sahabatnya ketakutan setengah mati beberapa menit yang lalu, membuat perasaan Hengki terluka hingga saat ini. Padahal kondisi Mentari terbilang lebih tenang sekarang ketimbang tadi.

"Kenapa gak ngabarin gue kalo mau pergi?" tanya Hengki. "Gue pasti temenin."

"Gue cuman mau nyari nasi goreng doang."

"Oke. Kita cari sekarang." Hengki lalu bangkit lebih dulu membuat Mentari menoleh cepat pada sahabat sekaligus tetangga samping rumahnya itu.

"Gak jadi, gue mau pulang," ujar Mentari yang kemudian bangkit dan berjalan mendahului.

"Oke."

Sepanjang berjalan kaki, baik Mentari maupun Hengki keduanya sama-sama bungkam. Udara malam yang dingin turut menjadi saksi kebisuan dua orang yang berjalan berdampingan. Meski sesekali Hengki mencuri pandang pada Mentari. Mungkin dia khawatir pada kondisi sahabatnya, sebab tak berbicara apapun lagi sejak tadi.

"Apa lo lihat-lihat!?" seru Mentari kala menangkap basah Hengki tengah mencuri-curi pandang padanya.

"Gue pikir lo puasa ngomong."

Mentari berdecak, Hengki memang tidak pernah jelas jadi manusia.

"Lo baru pulang sekolah?" tanya Mentari skeptis saat melihat seragam putih abu yang sudah sangat kacau masih melekat ditubuh Hengki.

"Nongkrong," jawab Hengki. "Gue gak sekolah."

"Kenapa?"

"Lebih seru."

Hening. Keduanya kembali membisu, sembari langkah kakinya terus mengayuh disepanjang trotoar. Sorot mata mereka sama-sama memperhatikan lalu lintas yang masih saja ramai di jam sembilan malam.

Fakta yang harus diketahui bahwa meski tumbuh dilingkungan yang sama, mereka tidak pernah berada di sekolah yang sama. Sejak dulu. Jika Mentari sekolah TK maka Hengki tidak. Lalu jika Hengki masuk sekolah negeri maka Mentari akan Swasta. Dan sekarang, meski sama-sama bersekolah di swasta. Hengki lebih memilih masuk sekolah kejuruan ketimbang satu sekolah dengan Mentari meski sekolah yang Mentari pilih lebih dekat dengan rumah mereka daripada sekolah kejuruan yang Hengki pilih.

"Omong-omong lo kenapa bisa ada di sini?" Akhirnya, Mentari membuka pertanyaan ditengah-tengah keheningan mereka. Meskipun kentara sekali basa-basinya. Ya, walaupun begitu Mentari tetap ingin tahu kenapa laki-laki itu bisa berada di sini.

"Salah alamat."

"Hah?"

"Harusnya gue pulang ke rumah, cuman motor gue mati. Gue taruh di bengkel."

Mentari mencebik. Memangnya dia berharap apa dari bertanya pada Hengki manusia paling gak jelas jadi manusia.

"Jawaban lo gak menjawab pertanyaan gue!"

"Gue laper," sahutnya tiba-tiba. "Makan nasi goreng di sana, yuk?!"

Untung saja kesabaran Mentari unlimited kalo bareng Hengki. Mau tidak mau dia mengikuti langkah lebar Hengki yang kini sudah terhenti di depan nasi goreng gerobakan pinggir jalan. Tempat ini adalah nasi goreng langganannya dan Hengki.

"Mang dua, ya, satu pedes satu nggak." Sementara Hengki memesan, Mentari memilih duduk menunggu.

Nasi goreng gerobakan ini tiap harinya terlihat tak pernah sepi pengunjung, pasti akan ada satu sampai dua orang yang selalu setia makan di sini. Tempat yang strategis juga jadi alasan kenapa tak pernah sepi pengunjung selain karena cita rasa nasi gorengnya yang mengalahkan makanan restoran bintang lima tentunya. Tapi sumpah! Mentari berani bertaruh rasanya memang lezat sekali. Apalagi pemandangan lalu lintas dan remang-remang lampu jalan yang disuguhkan menjadi satu hal yang komplit.

Hengki kembali setelah pesanannya mendapat acungan jempol dari Mang Anas—penjual nasi goreng.

"Kenapa pesan dua?" tanya Mentari.

"Buat kucing," sahut Hengki. "Tapi kalo lo mau buat lo juga boleh," sambungnya seraya terkekeh.

"Jadi lo mau nyamain gue sama kucing, nih!?"

Hengki menempelkan jemarinya di dagu, berlaga seolah-olah tengah berpikir keras. "Kucing kalo disamain sama lo emang nggak keberatan apa, ya?"

Sontak Mentari meninju lengan kekar Hengki. "Kurang ngajar lo!" cercanya.

Lalu Hengki tertawa terbahak-bahak, dia terlihat puas sekali tertawa sampai sudut-sudut matanya tampak mengeluarkan air. Tawanya terhenti saat Mang Anas menghampiri dengan membawa dua piring nasi goreng pesannya.

"Yang pedes buat Neng Tari." Mang Anas menyodorkan satu piring pada Mentari. "Yang ini buat—"

"SAYAAA!" Hengki menyahut lebih dulu sebelum Mang Anas merampungkan kalimatnya.

Mang Anas hanya terkekeh, lalu menyodorkan satu piring terakhir pada Hengki.

"Selamat makan," tutur Mang Anas. Kalimat barusan adalah mantra paling ajaib yang selalu Mang Anas ucapkan pada setiap pelanggannya.

Mentari dan Hengki mengangguk bersamaan, lalu saling tatap dan berkata satu sama lain. "Selamat makan!"

Bersambung ...

________

Tinggalkan vote dan komentar, ya!
Terima kasih banyak<33

Follow my Tiktok account;
@tulisanmanda

Romansa Patah HatiWhere stories live. Discover now