16. Berdatangan Masalah

42 13 3
                                    

Warkop masih ramai di jam sebelas malam waktu Hengki datang dengan wajahnya yang berantakan. Ben baru saja akan pergi dan menyambar jaket kulit berwarna hitam miliknya saat Hengki datang dan duduk di kursi koyak kesukaannya.

Dahi Ben mengerut, menaruh kembali jaketnya-mengurungkan niatnya untuk pulang. Menepuk bahu Hengki pelan lalu duduk di sampingnya. "Lo gak apa-apa, Ki?" tanya Ben khawatir. Pasalnya Hengki hilang kabar selama hampir satu Minggu membuat Ben dan teman-temannya mengkhawatirkan anak itu, dan sekarang dia malah datang dengan wajah paling buruk yang pernah Ben lihat.

Tidak ada jawaban selain suara deheman dari Malik yang memberi kode pada Ben agar tidak bertanya lebih dulu. Menyadari itu, Ben buru-buru bangkit dan menyeduh kopi hitam lalu memberikannya pada Hengki lengkap dengan sebungkus rokok miliknya.

"Nyebat dulu lah biar jernih."

Lagi-lagi tidak ada jawaban. Hengki hanya mengambil sebatang rokok, menyalakan korek api, menghisap. Lalu kepulan asap keluar dari mulutnya.

Seiring dengan batang rokoknya yang mulai terbakar habis, perasaan Hengki pun ikut berangsur tenang meski pikirannya masih berkecamuk, setidaknya nikotin itu berhasil menenangkannya.

"Lo pada belum pulang?" Hengki bertanya setelah batang rokok pertamanya habis.

"Barusan gue mau pulang, biasa dicariin baginda ratu di rumah," sahut Ben.

Hengki mengangguk mengerti, diantara mereka Ben memang yang lebih sering dicari keluarganya ketika larut malam masih belum pulang. Makanya Ben jarang sekali ikut nongkrong hingga lebih dari jam dua belas malam.

Seringkali Hengki iri pada Ben yang mendapat begitu banyak perhatian dari keluarganya, tapi anak sialan itu malah lebih sering menggerutu perihal orang tuanya yang terlalu berlebihan katanya. Begitulah tabiat manusia, iri pada milik orang lain tidak bersyukur pada kepunyaan sendiri.

"Lo kemana aja anjing baru kelihatan sekarang?" tanya Ben saat dia merasa suasananya sudah pas.

Hengki menyelipkan batang rokok berikutnya diantara bibirnya, membakarnya, lalu asap rokok kembali mengepul dari bibirnya. "Kangen lo sama gue?" gurau Hengki.

"Idih, cewek gue lebih cantik buat gue kangenin tiap hari ketimbang lo."

Hengki terkekeh, "Gue dari Surabaya."

"Ngapain Ki ke Surabaya?" Malik menyahut penasaran.

"Nyari nyokap."

Ben dan Malik saling menoleh, lalu hening diantara mereka.

Malik berdehem pelan. "Mau gorengan gak?" tanyanya mengganti topik. Malik tahu topik ini jika tidak dialihkan akan sensitif kalo dibahas. Bukan hanya itu, Malik juga mengerti kalo Hengki tidak suka membahas persoalan keluarganya di tongkrongan.

Hengki ini manusia yang paling menjaga privasi keluarganya. Teman-temannya cukup tahu dipermukaan saja tentang latar belakang hidupnya. Selebihnya, jika Hengki mau berbagi maka akan dilakukan, jika tidak maka satu orang pun tidak akan ada yang tahu.

Hengki menyunggingkan seulas senyum, dia mengenal Malik cukup lama sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama. Hingga gelagat yang dilakukan Malik barusan Hengki paham.

"Santai, Lik," kata Hengki seraya mengepulkan asap rokoknya di udara.

Malik membenarkan posisi duduk hingga nyaman kembali. Ben yang berada di sisi kanan Hengki hanya garuk-garuk kepala tak enak.

"Lagian gue juga tolol, sih, nyari penyakit. Udah tau hidup aja berantakan." Hengki tertawa, Malik dan Ben ikut tertawa miris.

"Gak apa-apa anjing hidup berantakan, yang penting memilih tetap hidup di dunia yang acak-acakan ini. Udah patut diapresiasi," ucap Ben.

Malik mengangguk setuju. "Yang penting gak milih mati muda, stres dikit masih oke lah."

Sontak ketiganya tertawa, lebih tepatnya menertawakan hidup masing-masing yang sama hancurnya. Masing-masing di antara mereka juga memiliki luka, latar belakang hidup yang suram lalu disatukan. Kombinasi yang seru kalo lagi sama-sama becandain hidup satu sama lain.

Kepulan asap rokok lagi-lagi kembali mengudara. Menjadi teman di sela-sela napas mereka.

Ben melirik jam di ponselnya lalu berkata, "Bukannya gue gak sohib, nih, ya. Cuman lo berdua tau lah baginda ratu gue udah menanti di rumah."

"Gak usah basa-basi kayak tai. Biasanya juga kalo cabut kagak bilang dulu perasaan," ujar Hengki. Lalu dibalas cengengesan dari Ben.

Menyambar jaket kulit hitam miliknya, Ben lalu berpamitan. Melakukan tos ala-ala dengan gerakan tangan terbuka, menepuk keatas dan kebawah lalu membenturkan pantat satu sama lain. Yang terakhir tidak Hengki lakukan, hanya Malik dan Ben yang melakukan.

Baru satu menit Ben meninggalkan warkop. Tiba-tiba saja Fahmi datang dengan luka lebam di setiap inci wajahnya.

"Anjing!" Malik mengumpat melihat kedatangan Fahmi dengan wajah lebam-lebam. "Lo kenapa, Mi?" tanya Malik kemudian.

"John ambilin es batu di kulkas!" Hengki berseru meminta tolong pada salah satu adik tingkatnya yang masih berada di warkop. Yang diperintah bergegas pergi menuju kulkas.

"Bang ini," kata John menyodorkan es batu pada Hengki untuk mengompres lebam di wajah Fahmi.

"Gue dikeroyok anak Mutiara, Ki," ucap Fahmi kemudian.

Seluruh atensi orang-orang di warkop yang sejak tadi memperhatikan Fahmi, kini benar-benar tersentak mendengar hal itu. Mereka saling menoleh satu sama lain, memunculkan praduga baru.

"Kok bisa?" tanya Malik.

Alih-alih Fahmi yang memberikan jawaban, John lebih dulu mengeluarkan asumsinya. "Pasti balas dendam."

Semuanya diam, tanda setengah dari mereka sepakat pada asumsi John tak terkecuali Hengki. Kasus-kasus semacam ini tak akan pernah selesai dengan damai. Siklusnya berputar; berkelahi, tak terima, balas dendam, berkelahi lagi.

"Kalo gitu kita serang balik." Salah satu di antara mereka tiba-tiba saja menyeruakkan kalimat itu.

"Gue gak setuju," ucap Hengki. Kebanyakan merespon ucapan Hengki dengan buruk. Hanya Malik, John dan Fahmi-yang tidak berdaya. Tak ikut mengecam ucapan Hengki.

"Fahmi mau mati, Ki, lo gak liat dia babak belur?" tanya salah seorang kakak tingkatnya di sekolah.

"Terus kalo nyerang balik, ada yang mati betulan. Kira-kira masalahnya selesai gak?" Hengki balik bertanya, namun pertanyaan itu tidak dia tujukan pada lawan bicaranya. Tapi pada seluruh orang yang berada di warkop, Hengki mengedarkan pandangannya keseluruhan penjuru warkop.

Semua diam. Mereka tak punya jawaban.

Hengki menghela napas panjang, kepalanya disenderkan pada pembatas kursi. Kepalanya berdenyut, pusing. Masalah satu masih bergentayangan di kepala, masalah lain berbondong-bondong. Seolah Tuhan sengaja berlaku tak adil untuk ketenangannya.

Bersambung ...

________________

Everyone please vote dan komentar, ya! Love u sobat<3

Follow my Tiktok account;
@tulisanmanda

Romansa Patah HatiWhere stories live. Discover now