8. Warkop

46 15 2
                                    

Menunggu sesuatu yang tidak ada kepastiannya bukan perkara mudah, apalagi menunggu manusia yang pergi sampai dia kembali pulang dengan kurun waktu tidak jelas adalah pekerjaan tolol yang dilakukan oleh Hengki saat ini.

Dia duduk di teras bukan lagi di kursi. Dia menunggu si pemilik rumah pulang sejak pukul delapan pagi sampai sekarang pukul sebelas. Coba hitung sudah berapa lama dia duduk menunggu. Hengki bahkan sudah bosan mendengar kicauan burung di atas kepalanya yang sengaja dipelihara bapak, berbicara dengan moli—kucing kampung kesayangan Mentari—bahkan hingga mencabuti rumput, semua kegiatan aneh sudah dilakukan Hengki untuk mengusir rasa bosannya.

"Masih belum pulang juga adik gue?" tanya Dikta yang baru kembali selepas membeli telur di warung. Dia ikut duduk lesehan di samping Hengki.

Menghela napas, lalu menggeleng lemas. "Emang dia pergi sama siapa, sih, Mas? tanya Hengki yang kemudian dibuat penasaran.

"Bilangnya temen, cuman gue gak tau iya temen apa bukan."

"Cowok, ya, Mas?"

Dikta mengangguk.

"Kemana katanya?" tanya Hengki.

"Gramedia."

"Biasanya juga minta anter ke gue."

Dikta tertawa, dia jadi teringat masa kecil mereka bertiga. Sejak kecil, sejak orang tua Hengki sering menitipkan anak semata wayangnya itu pada keluarganya mereka jadi lebih sering menghabiskan banyak waktu bermain bersama.

Dia juga ingat bagaimana dulu Hengki benci sekali dibuntuti terus-menerus oleh adik bungsunya. Itu juga jadi sebab kenapa Hengki dan Mentari tak pernah satu sekolah. Simpel. Karena Hengki gak suka dibuntuti oleh Mentari.

Sekarang malah aneh, waktu Dikta menyadari bahwa mereka berdua kelihatannya terikat untuk tidak mau dipisahkan.

"Tuh, anaknya datang. Panjang umur," ucap Dikta menepuk pelan bahu Hengki. Lalu laki-laki yang usianya tiga tahun lebih tua dari Hengki itu pun beranjak masuk ke dalam rumah.

Hengki berdiri, menyaksikan sahabatnya berinteraksi hangat dengan seorang laki-laki yang wajahnya entah kenapa tidak asing buat Hengki. Dia kayaknya pernah melihat laki-laki yang sedang berbicara dengan Mentari itu, tapi di mana?

Sebuah lambaian tangan diiringi senyum hangat menjadi penanda perpisahan. Mentari berjalan menghampiri Hengki yang masih tegap berdiri di tempatnya dengan kedua tangannya dilipat di depan dada.

"Siapa?" Pertanyaan tanpa aba-aba berhasil lolos dari mulut Hengki.

"Itu kak Rakha, yang waktu itu lo kira hantu," jawab Mentari.

Pantas saja mukanya seperti Hengki pernah melihatnya di mana. Sekarang dia jadi tahu dengan jelas wajah laki-laki itu.

"Kenapa gak minta tolong gue aja, kalo cuman mau pergi ke gramedia, doang?"

"Gue capek Heng mau istirahat dulu, ya, pertanyaannya nanti lagi gue jawabnya."
Dengan riang Mentari melewatinya begitu saja. Padahal kalo bicara capek, Hengki juga sama capeknya. Mentari pikir nunggu dari jam delapan sampai jam sebelas gak capek apa?

Banyak waktu yang dibiarkan abai, ada banyak panggilan telepon dan pesan masuk dari teman-temannya juga Hengki abaikan. Hanya untuk menunggu kepulangan satu gadis. Tapi pada akhirnya dia tahu penantian macam apapun tanpa dua arah akan tetap tidak menemukan kepulangan.

***

"Kalo lagi susah, galau. Baru pada inget warkop, gue teleponin juga kagak ada respon. Tai lah lo pada semua!" seru Ben saat melihat kedatangan sobat karibnya.

Romansa Patah HatiWhere stories live. Discover now