22. Berbaikan

33 10 0
                                    

"Heng, ambil piring satu lagi di dapur."

"Ntar, Mas. Tanggung mie nya mau mateng."

"Aku aja, Mas." Mentari mengacungkan tangan, sukarela beranjak dari duduknya menggantikan titah Dikta pada Hengki. Lagi pula dia merasa tidak mengerjakan apapun selain menonton dua laki-laki itu sibuk memasak.

"Gue aja."

"Gak apa-apa gue aja."

"Mie nya udah mateng." Hengki lalu mematikan kompor di depannya dan berlalu.

Dikta hanya mampu geleng kepala melihat tingkah keduanya, kembali membakar jagung.

Tapi alih-alih menunggu, Mentari mengekori Hengki pergi ke dapur. Dia dengan sigap mengambil alih piring dari tangan Hengki yang sontak terkejut.

"Gue mau minta maaf."

Hengki mengkerut kening, bingung. "Kesambet setan di mana?"

"Gue serius," sahutnya senewen.

"Lo lakuin salah apa ke gue sampai minta maaf?"

"Emang kalo minta maaf harus salah dulu?"

Hengki mengambil kembali piring dari tangan Mentari, berjalan santai menuju halaman depan rumah.

Topiknya mendadak berat di jawab, Hengki merasa alih-alih saling memaafkan Mentari malah akan tambah senewan nantinya. Jadi dia putuskan kembali melanjutkan tugasnya memasak mie berikutnya dengan telur setang matang di atasnya, setelah memberikan piring yang dipinta Dikta.

Cuaca malam yang dingin menembus pori-pori kulit sangat cocok dengan kehangatan semangkuk mie rebus panas.

Dikta malam ini sedang banyak uang—baru gajian. Sengaja berbagi dengan alibi mentraktir Hengki dan Mentari mie rebus lengkap dengan telur, tak lupa beberapa makanan ringan dan kopi kalengan kesukaan Hengki juga ada mengisi malam ini. Nori kesukaan Mentari juga ada, oh iya ... jagung bakar pesanan bapak juga Dikta beli, tinggal menunggu matang.

Mentari sekonyong-konyong duduk di samping Hengki, membuka bungkus nori yang tergeletak di karpet yang digelar, memakan satu persatu norinya dengan matanya yang tak lepas mengamati gerak-gerik Hengki di sampingnya yang telaten memotong sawi untuk dimasukan pada panci berisi mie yang sedang mendidih.

"Nggak pegel apa liatin gue mulu?"

Mentari menggeleng, meski Hengki tak melihatnya sebab laki-laki itu sibuk dengan mengaduk mie.

"Gue minta maaf, Heng." Tak lelah Mentari kembali mengulang permintaan maafnya.

Hengki menoleh, "Buat apa, sih, minta maaf mulu?"

"Ck! Emang harus banget ada alasannya, ya?"

"Males, ah, gue bahas ginian."

"Heng ..."

"Minta maaf itu harus ada dasarnya." Mentari kemudian menaruh seluruh atensinya pada Hengki. "Tapi biasanya dasarnya karena emang salah. Kalo orang benar gak mungkin, kan, minta maaf?"

"Mungkin aja."

"Kan! Ini, nih, yang bikin gue malas bahas ginian. Bukannya saling memaafkan, ujungnya malah debat kusir."

Mentari lalu merasa bersalah, padahal dia tidak bermaksud untuk mendebat akhirnya, hanya berpendapat kalo mungkin saja orang yang benar juga meminta maaf. Toh, itu bukan hanya merujuk pada benar dan salah untuk meminta maaf, untuknya meminta maaf adalah sesuatu hal yang mesti dilakukan siapa saja untuk mendamaikan suatu hal.

"Oke, sorry. Silakan lanjutin."

"Dah gak mood."

"Rese!" gerutu Mentari. "Ini permintaan maaf gue jadinya diterima apa nggak?"

"Di-ACC! Tapi besok-besok kalo minta maaf harus berlandaskan alasan yang kongkrit," kata si laki-laki yang kini sibuk menuangkan mie rebusnya pada mangkuk.

Meninggalkan topik itu, Mentari refleks membantu Hengki menuang bumbu mie sebagai hal kecil yang melengkapi semua elemen kenikmatan sebuah mie rebus. Hal kecilnya ini memang terlihat sepele tapi impectnya luar biasa jika ditinggalkan. Sama halnya dengan semua yang ada di sekitarnya, Mentari baru tersadar jantungnya berdebar ketika Hengki dengan sigap menarik tangannya dari cipratan air panas bekas rebusan mie yang mengenai tangannya.

Hal kecil itu bukan yang pertama kali, Hengki selalu mendadak menjadi pahlawan untuk hidup Mentari kapan pun, di mana pun. Bahkan hal besar pun sering dilakukan laki-laki yang masih sibuk membolak-balik telapak tangan Mentari—mencari lihat barangkali ada luka tertinggal—tidak ada sedikitpun debar yang terjadi biasanya.

Mentari sempat terbuai menatap kekhawatiran Hengki, lalu tersadar buru-buru menepis tangan laki-laki itu darinya.

"Gue gak lagi kesiram air panas sepanci-panci, ya. Santai aja!"

"Gue minta maaf, sumpah gak sengaja," risau Hengki.

"Mie gue yang mana?" tanya Mentari mengganti topik.

"Yang ini." Hengki menggeser semangkuk mie rebus dengan pelan dari tengah kearah Mentari. "Telurnya gak setengah matang, kesukaan lo."

Mentari mengangguk, menyambut dengan riang mie rebus dengan telur tingkat kematangannya pas, tidak setengah matang. Dia lalu menabur nori di atasnya. Siap di santap.

Dikta juga sudah selesai membakar jagungnya, mengantar masuk kedalam rumah pada bapak. Kembali lagi dengan bersila di samping adiknya.

"Yang gue yang ini?" tanyanya memastikan pada semangkuk mie rebus yang tersisa tinggal satu.

Hengki pikir seharusnya Dikta tidak perlu bertanya lagi bukan?

"Iya itu, Mas," jawab Hengki.

Lelucon-lelucon mengisi suasana malam yang dingin dengan kehangatan tawa dari Mentari tiap kali Hengki berusaha melawak tapi tidak lucu sama sekali, entah kenapa menurut Mentari esensi tawanya justru berasal dari ketidak lucuan usaha melawak yang dilakukan Hengki.

Dikta hanya bagian geleng kepala tiap kali melihat tingkah aneh yang tiba-tiba terjadi baik pada Hengki maupun adik bungsunya yang paling dia cinta di seluruh dunia itu.

Dari dalam rumah, dari bilik kaca yang dibalut gorden berwarna abu-abu, bapak memerhatikan gelak tawa ketiganya dengan bahagia.

Jagung bakar yang belum dia sentuh sebab masih terasa panas kini sudah berangsur hangat, seiring dengan malam yang semakin larut juga tawa ketiganya di halaman depan rumah miliknya semakin kencang dan terdengar sangat lepas. Membuat hati bapak ikut menghangat menyaksikan semuanya.

Sebuah bahagia yang sederhana.

Bersambung ...

______________

halo, selamat membaca!

jangan lupa kasih vote sama komentar ya biar makin semangat nulis dan update nyaa.

Love sebesar dunia<3

Follow my Tiktok account;
@tulisanmanda

Romansa Patah HatiWhere stories live. Discover now