(Part 2) 10 - Hospital Visit

26 6 0
                                    

Ketika aku pada akhirnya bangun, ada selang infus yang tertancap di pergelangan tangan kananku. Mataku masih berkunang-kunang saat kubuka, tenggorokanku kering, seluruh punggungku terasa terbakar, dan aku merasa sakit di berbagai bagian tubuhku.

Oh, benar juga, ledakan tak terduga itu yang membuatku seperti ini.

Aku berusaha bangun dan bersandar pada bahu kasur, kepalaku masih terasa pusing dan penglihatanku sedikit berputar. Ketika menoleh, aku mendapati segelas air putih di meja kotak di sebelah ranjang. Warna putih dan hijau ini berarti aku sedang berada di rumah sakit.

Kemudian, suara pintu membuatku menoleh, Vallery datang.

"Kau sudah sadar rupanya," sambutnya dengan remeh. Dia membawa plastik yang kemungkinan berisi makanan di tangan kiri lalu menaruhnya di meja – di dekat air yang ingin kugapai. "Kau mau minum?" tanyanya, aku mengangguk dan dia mengambilkan gelas itu untukku.

Aku merasa lega untuk sesaat karena bisa membanjiri tenggorokanku yang sudah seperti ratusan tahun tidak tersentuh oleh air. Vallery mengambil kursi yang berada di dekat pintu dan menyeretnya di sebelah tempat tidurku. Aku mengembalikan gelas yang sudah kosong itu kepada Vallery dan dia menempatkannya kembali di meja.

"Sudah berapa lama aku seperti ini?" aku membuka kembali percakapan sambil menghela napas, punggungku bahkan terasa sakit hanya dengan bersandar seperti ini, jadi kumiringkan sedikit agar rasa sakit itu berkurang. "Tidak sadarkan diri?" ralatku.

"Sekitar dua hari," jawabnya singkat diikuti anggukan kecil.

"Dua hari?" aku mengulangi seraya mengernyit besar. "Apa yang terjadi pada waktu itu? Di mana Papi? Apa mereka selamat?" tanyaku menggebu-gebu tanpa jeda.

"Wow-wow, tunggu dulu." Dia mengangkat tangannya dan diarahkan padaku. "Aku tahu kau punya banyak pertanyaan," dia berhenti dan menempatkan tangannya di atas tanganku.

"Dan?"

"Pertama-tama, kau jangan marah dengan jawaban yang akan kuberikan." Dia memundurkan sedikit kursinya, ada ketakutan yang muncul dari wajahnya kemudian digantikan dengan keraguan. "Ya?" lanjutnya memastikan.

Ini pasti sesuatu yang mengecewakan kalau dia berbicara seperti itu, dan mengetahui kondisiku sekarang, aku tidak akan bisa berbuat apa pun juga. "Baiklah." Aku akhirnya mengiyakan dengan rasa khawatir yang terus muncul.

"Waktu itu kita diserang oleh kawanan Revenant—"

"Tidak mengherankan." Aku memotongnya dan sudah menduganya, ternyata Hollow itu tidak main-main dengan perkataannya mengenai Revenant lain yang akan menjemputnya; atau bisa kukatakan sebagai bala bantuan. Tapi kenapa waktu itu dia meledakkan diri? "Leon sempat memperingatkanku mengenai kawanan Revenant yang datang itu."

"Aku tahu, Issa. Biarkan aku menjelaskan terlebih dahulu," ujarnya dengan sabar. "Aku tahu itu," dia mengulangi, "Leon mengatakan itu juga kepadaku sesaat setelah kau masuk ke gudang itu, tapi Leon sendiri tidak percaya. Dia pikir Revenant itu hanya menggertak saja. Dan Coach sepertinya kesal dan tidak mengatakan apa pun karena hal itu."

"Kurasa," kataku. "Dia mengekspresikannya dengan sempurna setelah interogasinya yang gagal." Aku mengangguk-angguk sendiri setelah ucapanku barusan. "Itu jawaban untuk pertanyaan pertama."

"Baiklah, pertanyaan kedua," kini dia yang menghela napas. "Aku tidak yakin, tapi sepertinya mereka bertiga ditangkap oleh mereka." Kalimatnya barusan membuat alisku naik sebelah, susah untuk menangkap apa yang dia katakan padaku. Percaya tidak percaya, aku yakin Coach tidak semudah itu ditangkap, apalagi Leon dan Rohry juga turut serta. Mereka sangat andal dan sudah membuktikannya di banyak kesempatan.

OriginsDonde viven las historias. Descúbrelo ahora