08 - Infiltration

24 5 0
                                    

Sekitar sepuluh menit setelah aku dan Vallery menyelesaikan lantai sembilan, Tim Papi tiba dari tangga.

"Tidak menggunakan lift?" Vallery langsung nyeletuk ketika mereka datang. Leon yang terlihat bercucuran keringat langsung spontan menoleh ke arah lift dan terlihat menyesal.

"Memangnya berfungsi?" tanyanya dengan heran. Rohry hanya mengangkat bahu ketika Leon menatapnya, begitu juga dengan Papi.

"Bisa," kataku dan Vallery secara serentak.

"Sialan," kutuknya dengan nada yang pelan. "Kalau begitu ayo kita naik."

Kami naik, lalu menemukan lorong pendek dengan beberapa ruangan kecil di sepanjangnya. Lalu, di ujung terdapat pintu ganda. Papi dan Leon yang memimpin di depan pun mengendap-endap mendekati pintu tersebut. Mereka berdua mengintip melalui celah yang tidak tertutup oleh barikade kayu. Dengan satu isyarat dari Leon, kami semua bersiap dengan senjata yang kami pegang. Kami langsung disambut oleh beberapa Revenant bersenjata, lengkap dengan pakaian yang terlihat sedikit aneh. Pakaiannya seperti seorang penjarah yang membuat pakaiannya sendiri dari potongan-potongan barang rongsok yang mereka temukan. Kami tiba di ruangan yang cukup besar ala kantoran dengan meja raksasa berada di tengah-tengah dan banyak kursi mengelilinginya. Para Revenant itu membuka tembakan secepat ketika melihat kami mendobrak masuk. Kami membalasnya tidak kalah hebat.

Untuk sedetik, semuanya terasa melambat, aku bisa melihat kilatan cahaya yang menerangi ruangan gelap ini, semua hal terlihat sangat jelas di hadapanku – bagaimana rupa ruangan ini, tiap warna yang ada, dan siapa saja yang hadir.

Papi langsung masuk ke dalam dan membalas tembakan tersebut, kemudian berlindung di bawah meja raksasa tersebut. Leon mengikuti di sebelahnya.

Aku langsung berlindung di balik dinding sebelah pintu ganda tadi, sambil sesekali melirik dan mencoba untuk mendapatkan kesempatan menembak. Di saat yang sama, aku sudah tidak bisa melihat keberadaan Vallery lagi, dia sudah hilang tanpa jejak. Sialan, lelaki itu punya pemilihan waktu untuk menghilang di saat yang tepat.

Dalam waktu yang singkat, meja yang tadinya masih utuh kini sudah tidak berbentuk lagi setelah baku-tembak dimulai dengan cukup seru. Kilatan-kilatan dari selongsong yang ditembakkan menyinari hampir seluruh ruangan untuk sepersekian detik secara berulang. Suara selongsong peluru yang berjatuhan menghiasi telinga. Leon dengan santai menembakkan dua Berreta di tangannya yang sudah dimodifikasi agar memiliki klip peluru lebih banyak. Dari balik kursi yang dia pakai untuk berlindung, dia secara beruntung mengenai mereka dengan tembakan-tembakannya.

Di sisi lain, Papi langsung memberondong mereka yang sedang mengisi ulang peluru. Aku mengikutinya masuk ke dalam ruangan – keluar dari persembunyianku. Aku sesekali menembak agar memberi Papi kesempatan untuk maju. Suara tembakanku berbeda – senyap dan tanpa kilatan cahaya yang bisa membongkar posisiku kepada mereka.

Aku membidik dengan hati-hati dan mengambil celah kilatan cahaya sebagai panduanku untuk mengetahui posisi musuh. Aku percaya pada refleks yang aku miliki untuk menembak dan aku selalu berusaha untuk membuat setiap peluru tidak terbuang sia-sia. Mungkin itulah mengapa aku lebih suka menembak dengan mode single daripada burst, apalagi auto. Kuncinya hanya terletak pada kestabilan pada tiap jeda tembakan. Semakin stabil peganganku, maka semakin cepat aku bisa menembak.

Sementara Papi terus memberondong mereka, Rohry juga mengambil kesempatan untuk ikut membantu menembak dengan pistolnya. Kemudian Leon keluar dari balik kursi yang dia gunakan untuk berlindung. Berbeda dengan kami semua, gaya bertempurnya cukup nyentrik menggunakan dua Berreta itu, seperti koboi yang pernah kubaca di beberapa buku dan film yang pernah kutonton, namun bedanya koboi menggunakan pistol yang berbeda lebih kuno daripada yang dia pakai.

"Apa target kita ada di antara mereka?" tanyaku yang berlindung di sisi meja, mengambil sebuah kursi dan menjadikannya sebagai pelindung sementaraku.

Pertarungan berpindah ke ruangan sebelah dengan cepat. Ada banyak langkah kaki yang menyerbu pada waktu yang sama, aku tidak bisa menghitung berapa jumlahnya. Sepertinya ini adalah ruang karyawan, ada banyak sekat-sekat di seluruh ruangan yang lebih besar daripada sebelumnya. Aku langsung mengambil salah satu sekat di seberang Papi.

"Mungkin," kata Papi terengah-engah. Tangan kirinya dengan lihai mengisi ulang senapan serbu dengan klip baru dari salah satu saku rompinya. Dia berada di seberang sekat dan berusaha melirik di tengah hujan peluru yang sedang beterbangan. "Leon bilang... matanya satu." Dia langsung balas menembak ketika kesempatan datang padanya.

"Matanya satu?" aku bergumam seraya mengernyit dan berpikir. Kalau begitu dia setidaknya menggunakan penutup mata atau sekadar membiarkan matanya seperti itu. Dengan informasi itu aku langsung mencoba mencari info di mana targetnya. Sialan, kalau saja ruangan ini tidak gelap, pasti akan lebih mudah untuk mengidentifikasinya.

Aku bergeser dari satu sekat ke sekat lainnya dengan perlahan selagi mereka masih sibuk saling menembaki. Selang beberapa saat setelah berpindah, tempat ini hancur seperti sebelumnya. Menyisakan beberapa sekat yang masih berdiri sementara lainnya telah hancur menjadi serpihan-serpihan kecil dengan debu dan darah.

"Ah!" Aku bisa mendengar suara teriakan Leon. Dan ketika aku menoleh menuju sumber suara, aku melihat Leon tertembak di lengannya. Beruntung untuknya, dia masih bisa berlindung di balik meja atau dinding selagi melanjutkan aksinya. Rohry langsung menghampirinya.

"Mundur!" perintah Papi padanya, dan Rohry dengan segera membantu Leon untuk mundur secara perlahan. "Issa, bantu aku dengan yang di sebelah kiri." Papi menggunakan isyarat agar aku pergi menyelinap jauh ke depan melalui celah memutar yang dia tunjuk. Beberapa Revenant sudah mundur ke ruangan selanjutnya.

Aku melewati beberapa mayat yang tergeletak selagi aku berjalan ke sana. Dengan kesempatan yang terbuka, aku langsung menghabisi dua Revenant yang berada di tiga sekat seberang tanpa mengeluarkan suara, tepat di kepala mereka. Ada sekitar empat atau lima Revenant lagi yang berhasil ke ruangan selanjutnya. Kami langsung mengejar mereka dengan cepat. Papi maju ke depan, dan aku langsung menyelinap untuk mencari target baru, sedangkan Rohry mengikuti dari belakang setelah memastikan Leon baik-baik saja.

Target kami pasti salah satu di antara Revenant itu. Aku kembali memperhatikan kilatan yang ditembakkan kedua kubu. Ini misi mudah, mereka tidak terlalu pintar, bahkan kurasa mereka tidak bisa membidik meskipun pakaian dan persenjataan mereka terlihat cukup memadai meski terlihat sedikit aneh untuk standarku.

Di balik tembakan-tembakan itu, akhirnya aku menemukan target yang dimaksud. Bermata satu, seperti yang dikatakan oleh Papi. Aku dengan cepat membidik dua Hollow yang tersisa di sudut ruangan, menembakkan beberapa peluru hingga klipku habis dan mengisi ulang dengan cepat.

"Menyerahlah!" teriak Papi dari balik dinding dia berdiri. Dia kemudian mencoba membuat tembakan peringatan yang untungnya hanya mengenai bahu Hollow tersebut. Bagaimana pun juga, kami perlu Revenant itu hidup-hidup, bukan tanpa nyawa.

Aku dengan langsung sigap berlari untuk menangkapnya, namun Revenant itu masih cukup kuat berdiri dan mencoba berlari, dia mungkin saja berpikir untuk menabrak kayu barikade yang digunakan untuk menutupi jendela dan terjun dari sana. Tapi aku akan tidak membiarkan hal itu terjadi, jadi dengan cepat aku membidik dan menembak kaki kirinya untuk langkah antisipasi.

Dia terjatuh meski pada akhirnya juga menabrak kayu itu. Bahkan, kayu itu sudah terlalu lapuk sehingga dia hampir saja membuat kaca di baliknya retak. Papi yang berada di dekat Hollow itu langsung menariknya sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi.

OriginsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang