06 - Invited

31 7 2
                                    

Kami tidak membutuhkan waktu yang lama untuk kembali ke Priomph dan melaporkan keberhasilan kontrak. Setelah mendapatkan bayaran dan membaginya dengan Vallery, kami berdua pulang untuk menutup hari yang melelahkan.

Vallery mengatakan padaku bahwa aku bisa mengambil istirahat dan libur selama beberapa hari setelah pekerjaan terakhir yang kami lakukan. Terlebih, dengan uang yang kami hasilkan dari pekerjaan itu cukup untuk menutup biaya yang aku butuhkan untuk beberapa pekerjaan ke depannya, sebesar itulah yang aku dapatkan dari satu pekerjaan tersebut.

Hari pertama hanya aku habiskan untuk tidur sepanjang hari dan Papi baru kembali sejak kepergiannya pada malam hari.

Di hari kedua, aku berencana menggunakannya untuk membersihkan beberapa senjata yang aku miliki. Kotor yang terbentuk dari wilayah buangan di Verdim itu membuat senjata kesayanganku harus dibongkar dan dirawat. Jika kubiarkan lebih lama, maka itu akan menjadi karat yang nantinya akan kusesali di kemudian hari.

Sayangnya, tidak lama untuk pagi yang tenang itu dirusak oleh kedatangan Vallery. Maksudku, apa aku tidak boleh memiliki hari-hari tenang tanpa dirinya di sekitarku?

"Untuk apa kau datang ke sini?" tanyaku sinis. Kedua tanganku masih sibuk merakit kembali bagian-bagian dari M4 yang baru saja aku bersihkan.

"Apa Coach ada di rumah?" tanyanya. Tubuh itu mendekatiku dan mengeluarkan satu kaleng fizzy drink dan beberapa kukis kering plastik lalu menaruhnya di meja yang kugunakan untuk membersihkan senjata. "Ini untuk mengganti yang tempo hari," tambahnya. Aku menatap pemberiannya seolah merupakan sebuah suap.

Aku hanya memberinya isyarat dengan kepala dan tatapan mataku ke arah sebuah kamar di depanku. Itu kamar Papi.

"Apa yang kau lakukan pagi-pagi seperti ini di sini?" aku bertanya lagi, kemudian mengambil kaleng soda itu dan membukanya. Sebuah pop terdengar dan semburan soda keluar dari dalam kaleng tersebut.

"Entah," jawabnya, aku melempar lirikkan ke arahnya dan mendapatinya mengangkat kedua bahu. "Coach mengajakku untuk pergi dengannya," dia melanjutkan.

Rasa penasaran kembali muncul dari otak. "Untuk apa?" tanyaku. "Apa masih ada misi yang harus dia kerjakan bersama Leon dan Rohry?" lanjutku. Aku masih ingat dengan jelas perbincangan lanjutan antara Vallery dan Papi dua hari yang lalu sebelum berangkat.

"Kurasa, iya. Kira-kira ada apa, ya?"

"Hmm," aku berusaha untuk tidak terlihat tertarik. Sebuah emosi kemudian mengambil alih untuk sesaat, "Apa untungnya untuk Papi, sih? Dia tidak mendapat apa pun dari Guardian juga, kan?" ucapku ketus dengan suara yang lirih. Aku dulu suka sekali bagaimana Papi bercerita tentang hari-harinya bersama Guardian, hingga suatu saat ceritanya terhenti di suatu bab yang tidak pernah dia ceritakan secara langsung padaku.

Vallery mengangkat bahunya, lagi. "Coach hanya begitu mencintai Guardian..." katanya dengan nada pasrah. "Tentunya – setelah dirimu yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri," dia membenarkan dengan cepat.

Aku tahu itu. Aku tahu betul.

"Apa menurutmu Papi bisa dibujuk?"

"Aku tidak tahu, Issa..." dia lantas menyandarkan tubuhnya di bahu sofa. "Coach bisa menjadi seorang yang keras kepala sekaligus posesif di waktu yang bersamaan, terutama jika itu menyangkut dirimu," ungkapnya, "tapi dia tidak bisa bermain seperti ini selamanya. Dia tahu kemampuanmu sangat bagus di luar sana, sehingga cepat atau lambat dia harus mengakui hal tersebut."

"Jadi seharusnya dia tertarik dengan bujukanmu," balasku. Aku lalu menaruh M4 yang sudah selesai kukerjakan di samping meja, lalu berdiri dan mengembalikan alat-alat yang kugunakan untuk membersihkan.

Beberapa saat kemudian, Papi keluar dari kamarnya, lengkap dengan seragam yang dia gunakan sehari-hari dan segala peralatan yang melekat di sekujur tubuhnya. Gaya berpakaiannya kurang lebih masih sama seperti kebanyakan anggota Guardian pada umumnya, hanya saja Papi tidak mengenakan aksesoris yang berhubungan dengan Guardian.

Dia muncul dengan memberiku sebuah isyarat yang tidak kumengerti dengan kepalanya dan berlalu ke luar begitu saja, antara anggukan dan gelengan—entahlah, aku tidak dapat menyimpulkan dengan pasti.

"Apa pula maksudnya itu?!" gerutuku tanpa melepas tatapanku pada Papi lalu ke arah Vallery.

"Kurasa dia mengajakmu ikut." Vallery memperjelas maksud dari isyarat Papi barusan dengan senyum simpul dan sedikit gerakan tubuh.

"Sejak kapan dia menggunakan isyarat tidak jelas seperti itu?" protesku lagi, seingatku Papi suka menggunakan isyarat, namun isyarat kali ini tidak kumengerti.

"Aku akan menunggu di depan," ucap Vallery yang segera beranjak dari tempatnya duduk. Lagi pula, ke mana Papi akan mengajakku kali ini?

Kemudian suara mobil yang khas terdengar dari arah luar rumah.

OriginsWhere stories live. Discover now