Part 31

634 152 2
                                    

Aku membuatkan teh yang aku miliki untuk Eyang dengan gula terpisah. Untuk seusia beliau mungkin ada pantangan-pantangan yang nggak boleh dilanggar, jadi aku memilih untuk mencari aman dari pada terjadi masalah di kemudian hari.

Cemilan-cemilan sehat yang ku beli dan jarang di makan untungnya masih ada, sehingga aku nggak perlu merasa malu untuk menjamu beliau yang datang mendadak.

"Saya kurang tau Eyang suka teh yang manis atau tidak, jadi saya menaruh gulanya terpisah."

"Kamu tinggal sendirian, Mai?" Tanya Eyang seraya melihat-lihat ruang tamu yang merangkap sebagai ruang nonton kalau ada teman-teman yang datang.

"Iya Eyang."

"Orang tua dimana?"

Aku sempat terdiam sejenak karena bingung harus menjawab apa. Apakah keluarga Dhika pantang terhadap sebuah perceraian?

Dilema sempat menghampiriku sepersekian detik, namun aku memilih untuk jujur. Keluarga Assegaf adalah keluarga yang memiliki segalanya, kekayaan, kekuasaan, dan koneksi.

Mungkin beliau sudah mencari tahu latar belakang keluargaku terlebih dahulu, dan hanya mengetes aku jujur atau tidak.

"Mama udah meninggal lama Eyang."

"Papa kamu?"

"Papa tinggal dirumah lama sama istri barunya, sama kakak saya juga." Aku berusaha setenang mungkin menjawab pertanyaan Eyang.

"Kenapa nggak tinggal sama Papa aja?"

"Papa dan Mama sebelumnya sudah bercerai, dan saya ikut Mama sementara kakak saya ikut Papa, setelah Mama meninggal saya memutuskan untuk tetap disini." Eyang mengangguk sambil menyesap minumannya yang tak diberi gula sama sekali.

Aku hanya bisa berharap rasa teh yang ku suguhkan cocok di lidah beliau.

Rasanya aku seperti seorang yang bersalah dan sedang diintrogasi oleh polisi. Rasanya menegangkan padahal eyang Rukmini terlihat santai dan tidak menekan sama sekali.

Walaupun begitu, aura intimidasinya tetap terasa hingga aku cukup gugup dalam menjawab setiap pertanyaan yang beliau lontarkan.

"Sudah berapa lama kenal Dhika, Mai?"

Lagi-lagi aku dilanda dilema karena nggak tau apakah Dhika sudah cerita atau belum ke Eyang.

"Kenal sudah lama Eyang, 3 tahun mungkin ada, tapi hanya sebatas di sosial media. Kami bertemu baru beberapa bulan waktu saya ke Surabaya."

Eyang tampak mengangguk puas dengan jawabanku, apakah itu artinya jawabanku sudah sesuai dengan apa yang beliau mau? Ah... Aku nggak mau memikirkan lebih, yang penting aku sudah menjawab dengan jujur.

Obrolan kami berlanjut, hingga aku mulai merasa santai, Eyang juga membahas tanaman yang ada didepan dan memberikan sedikit tips agar sayuran yang ku tanam tumbuh subur dan menghasilkan sayuran yang bagus.

Hingga dering ponsel beliau menghentikan obrolan kami yang telah berlangsung lumayan lama.

"Maaf ya, Mai."

Aku mengangguk dan mempersilahkan beliau mengangkat telfon.

***

"Sampai jumpa di makan malam lusa, Maira." Eyang pamit dan supir menutup pintu mobilnya.

Rasanya kakiku lemas seketika dan terduduk di trotoar depan rumah. Aku menghidu nafas dalam-dalam karena ternyata sejak tadi aku menahan nafas beberapa kali hingga rasanya menyesakkan.

Ternyata walaupun sudah terlihat santai, aura Eyang lumayan mengintimidasi hingga dibeberapa percakapan yang menyinggung keluarga ataupun Dhika aku kembali tegang. Takut salah bicara.

Aku pada akhirnya terpaksa menyetujui ajakan makan malamnya karena Eyang sendiri yang menawarkan secara langsung.

"Mbak nggak papa?" Seorang pengendara motor berseragam ojek online berhenti didepanku.

"Saya nggak papa, Pak... Makasih." Aku bangkit dari dudukku dan masuk kedalam rumah. Menutup kembali gerbang dan duduk diundakan depan rumah, menatap pekerjaanku yang sempat tertunda namun tak berniat melanjutkannya.

Jika diingat kembali, keluarga Dhika sama sekali nggak terkejut melihat dia membawa seorang perempuan bertemu dengan satu keluarga besar lengkap tanpa satupun yang kurang. Sebagian dari mereka juga tampaknya mengenalku dan menyapa dengan sangat ramah.

Tidak ada satupun yang terlihat tidak mengharapkan keberadaanku disana.

Apakah Dhika sebelumnya sudah menceritakan tentangku pada keluarganya?

Mungkin.

Atau bisa jadi mereka diam-diam mencari tau tentangku karena ketahuan dekat dengan Dhika?

Kenapa statement kedua terdengar tidak mengherankan bagiku?

Aku memilih membereskan pekerjaanku dan masuk kedalam rumah, meraih ponsel kemudian mengirimkan pesan pada Dhika.

Eyang lo tadi kesini.
Dan gue setuju buat ikut makan malam karena beliau sendiri yang minta.

Minuman adalah tujuanku menuju dapur, ponsel sengaja ku bawa karena pesan yang ku kirimkan pada Dhika langsung dibacanya.

Deringnya membuatku tersenyum kecil, mungkin dia langsung ke toilet agar bisa menghubungiku secepatnya.

"Lo nggak papa?"

Kenapa pernyataan itu yang pertama kali dia katakan? Apakah Eyangnya itu bisa menggigit atau bahkan menganiaya jika tidak menyukai seseorang?

"Ya nggak papa lah, eyang lo nggak gigit gue."

Aku menggigit satu apel yang ku ambil dari kulkas. Dan bersandar di meja pantry dengan ponsel yang masih menempel di telinga.

"Kenapa sih lo kaya panik gitu?" Tanyaku.

"Gue udah usaha buat dapetin hati lo, jangan sampai karena cuma rasa penasaran eyang bikin lo malah ilfill sama gue."

Bisa-bisanya dia menyempatkan diri untuk menggombal.

"Dah lah, males ngomong sama lo."

"Jadi lo mau ikut makan malam?"

"Hm..."

"Mau gue kirim baju?"

"Dhik... Gue nggak suka cara lo yang kaya gini, gue punya baju, kalau lo nggak mau terima gue sebagai diri gue sendiri, lo bisa cari cewek lain."

"Oke oke, gue minta maaf. Gue tutup dulu, mau balik kerja lagi."

Aku menutup telfon dengan agak kesal. Apakah Dhika selalu seperti itu pada semua perempuan yang disukainya?

Sejujurnya aku bukan orang yang suka diatur, termasuk dalam berpakaian. Aku juga nggak mau dia semakin terbiasa dan selalu mengirimkan keperluanku.


Ku langkahkan kakiku naik ke kamar, mataku agak berat karena semalam kurang tidur dan bangun terlalu pagi.

Namun sebelum itu, aku memilih mandi terlebih dahulu.

Bertemu Lewat KataWhere stories live. Discover now