Part 14

631 145 6
                                    

Aku dan Nanda banyak mengobrol hingga tanpa sadar waktu telah berlalu berjam-jam dan sahabatku sudah ditelfon suaminya untuk segera pulang.

"Besok gue ke rumah, sekalian jenguk si baby," kataku seraya mengantar Nanda ke mobilnya.

"Gue tunggu, jangan lupa kado buat baby gue."

Aku mengangguk pasti. Saat melahirkan sekitar 4 bulan yang lalu, Nanda masih di pulau seberang sehingga aku belum bisa berkunjung ke sana. Aku sempat ingin mengirimkan hadiah tapi dia menolak mentah-mentah dan ingin aku datang langsung mengantarkan hadiah untuk baby-nya.

"Gampang," kataku.

Dia akhirnya pamit pulang mengendarai mobilnya yang sejak tadi berada diluar gerbang.

Rasanya lega karena pada akhirnya aku bisa menumpahkan semua unek-unekku pada Nanda. Dia adalah salah satu orang yang paling ku percaya, orang yang aku yakin nggak akan pernah mengkhianati ku.

Aku memasuki rumah san mengecek ponsel. Beberapa panggilan tak terjawab menarik perhatianku.

Gue nggak bisa ke tempat lo malam ini.
Besok sorean mungkin, nggak ada acara kan lo?
Mai?
Kalau lo cek hape, kabarin gue ya.

Aku langsung mendial nomor Dhika, tapi berakhir dengan panggilan tak terjawab.

Gue silent hp tadi.
Besok juga nggak papa.

Balasku singkat dan aku langsung naik ke kamar setelah memastikan semua pintu dan jendela terkunci rapat.

***

Sepagi ini aku sudah mandi dan bersiap untuk keluar rumah. Kegiatanku hari ini jelas mencari kado untuk Baby Raffa, anak Nanda dan Raffi, sahabatku.

Dhika bilang dia akan main nanti sore, jadi aku masih bebas setengah hari ini.

Untuk ke rumah Nanda, aku jadi dilema karena sudah kadung janji dengan kedua orang itu. Apa aku bawa Dhika menjenguk Baby Raffa saja?

Mungkin aku bisa menanyakan kesediaannya nanti.

Aku berkendara keluar area komplek rumah dengan tenang. Jalanan jauh lebih lengang karena sudah bukan jam sibuk lagi. Jam berangkat sekolah atau kantor sudah lewat dua jam yang lalu.

Mobil berhenti di lampu merah dan aku mencari permen didalam mobil. Biasanya aku menyimpan stok permen agar tidak terlalu bosan saat berkendara.

Saat membuka laci dashboard, aku malah mendapati foto kebersamaanku dengan Guntur.

"Kenapa sih..." Dengan sedikit kesal aku malah menutup laci dashboard dengan sedikit membantingnya.

Aku yakin aku bisa merelakan Guntur untuk Risti jika mereka ingin bersama. Tapi aku masih juga kesal ketika mengingat kelakukan mereka di belakangku.

Sebelum mobil kembali berjalan aku menghela nafas berkali-kali dan berusaha mengenyahkan bayangan mengkhianatan malam itu.

Guntur sudah lewat di belakang, dan aku hanya ingin menjalani hari ini dan besok tanpa bayang-bayang masa lalu.

***

Kenapa aku jadi deg-degan begini membawa Dhika berkunjung ke rumah orang tua Nanda?

Siang tadi aku menanyakan pada Dhika apakah dia mau ke tempat Nanda terlebih dahulu untuk menjenguk baby Raffa yang sudah berusia empat bulan. Ku kira dia akan menolak, tapi enggak... Dhika setuju dan dia sudah menunggu di hotel untuk ku jemput karena aku memaksa. Padahal dia menyarankan untuk bertemu di lokasi saja.

Aku belum mengatakan apapun pada Nanda mengenai kedatanganku dengan sesosok teman yang selama ini enggak dia kenal. Laki-laki pula.

Untung jalanan sedikit macet, sehingga aku bisa sedikit menenangkan jantungku yang berdebar. Bukan berdebar akan bertemu Dhika, tapi hal lain tentunya.

Kalau udah deket, kabarin gue.

Katanya lewat pesan yang dikirimkan beberapa menit yang lalu. Aku segera membalasnya dengan mengatakan kalau aku sudah dekat.

Sejujurnya aku cukup malas mengendarai mobil sendiri karena macet yang tak berkesudahan, apalagi dijam-jam sibuk seperti saat ini. Rasanya melelahkan.

Terkadang, aku lebih memilih menggunakan ojek online jika sedang terburu-buru. Tapi hari ini aku terpaksa menggunakan mobil karena cuaca yang sejak pagi mendung, tapi hingga siang menuju sore ini hujan belum juga turun.

Aku memasuki area hotel dan menelfon Dhika. Dia muncul tak lama kemudian dan mengambil posisi duduk disamping kemudi.

"Boleh tukeran tempat? Gue capek banget hari ini," kataku sambil membuka safety belt.

"Boleh."

Dhika keluar mobil dan aku bergeser ke jok samping kemudi.

Dhika tampak berbeda kali ini. Jika beberapa waktu lalu Dhika selalu berpakaian santai, kini dia mengenakan kemeja polos dan celana jeans juga sepatu yang ku kira harganya nggak murah. Sejujurnya, aku nggak tau model dan merk sepatu.

"Muka lo lusuh amat," komentar Dhika saat dia memutar kemudi kembali bergabung dengan pengendara lainnya.

"Macet bikin gue tambah penat."

Leherku terasa kencang sejak tadi dan akhirnya aku bisa sedikit bersantai dan hanya memberikan arahan pada Dhika arah jalan menuju rumah orang tua Nanda.

"Kenapa pakai mobil?"

"Langit bahkan masih mendung sampe sekarang, gue cuma males hujan-hujanan."

"Sekarang banyak taksi online, ribet amat sih."

Aku hanya berdecak pelan dan wajah melengos ke luar jendela. Rintik hujan mulai turun dan nggak butuh waktu lama hingga deras.

Jalanan makin macet, suhu mulai mendingin, jalanan menggenang. Semoga nggak banjir.

"Insting lo kuat amat, Mai."

"Nggak usah punya insting kuat, dari pagi udah mendung jelas tinggal nunggu hujannya doang."

Aku membuka laci dashboard ketika teringat foto tadi. Ku pandangi sebentar foto itu sebelum menyobeknya hingga menjadi kepingan kecil kemudian membuangnya ke tempat sampah yang ada di dalam mobil.

"Guntur Adhiwarsa..." Aku menoleh saat Dhika menyebut nama si bangsat itu.

"Lo kenal?" Tanyaku dengan mata yang menyipit.

"Pacar lo kan? Kenapa fotonya disobek?"

Aku menghela nafas pelan. Aku lupa jika aku pernah memposting kebersamaanku dengan Guntur sekali waktu itu. Mungkin Dhika sempat melihatnya.

"Udah putus."

***

Disini ada yang tau salah satu ceritaku yang berjudul "I'm Br[ok]en" nggak yah?

Atau kalau kalian yang belum baca silahkan baca mulai sekarang, karena akan ada kelanjutannya.

Btw, kalian kesel nggak sih baca cerita ini?

See you di bab dan cerita berikutnya.
💋💋

Bertemu Lewat KataWhere stories live. Discover now