Part 13

650 154 7
                                    

"Lo ngomong apa ke Papa sampai Papa pulang nangis-nangis kaya gini, Maira?"  Suara Risti terdengar murka saat dia menelfonku sore ini.

"Gue nggak ada ngomong apa-apa, emangnya kenapa?"

"Gue tau gue salah karena udah nikung lo, tapi tolong Mai... Cukup gue aja yang jadi limpahan kemarahan lo, nggak ke Papa juga. Lo tau sendiri Papa lagi kurang sehat."  Seenggaknya aku bisa sedikit mengurangi rasa bersalah karena Papa berhasil sampai rumah dengan selamat.

Siang tadi Papa pulang setelah aku tinggalkan beliau sendiri di ruang tamu. Aku nggak mampu bertahan satu ruangan dengan Papa karena takut menyakitinya lebih banyak lagi dengan kata-kataku.

"Lo bisa tanya Papa sendiri, Ris... Gue capek ngomong sama lo."

"Papa kaya gitu setelah pulang dari tempat lo ya, Mai..."

"Lo bisa tanya ke Papa langsung, Anjing. Berani nggak dia ngomong jujur sama lo."

"Maira!"

"Lo nggak akan semarah ini ke gue kalau lo tau kenyataannya Ris."

Aku langsung memutuskan sambungan telfon dan menghempaskan benda pipih itu keatas ranjang. Hari ini terasa sangat melelahkan.

Kepalaku terasa berat hingga aku terduduk di karpet dengan punggung yang bersandar di bibir ranjang. Aku memang merasa bersalah karena telah terang-terangan mengkonfrontasi Papa dengan kalimat yang kurang mengenakkan. Tapi aku merasa tak mampu lagi bertahan dan diam selamanya tanpa tau alasannya kenapa.

Melihat reaksi Papa tadi, aku tau secara nggak langsung beliau mengakui kalau dia bersalah tanpa sanggahan sama sekali. Papa sangat mudah ditebak.

Dering ponsel membuatku gemas sendiri.

"Bangsat, apaan lagi sih, Ris?" Aku mengumpat tanpa melihat siapa yang menelfon.

"Oops... Kayanya gue Telfon diwaktu yang salah." Mataku yang awalnya terpejam langsung terbuka lebar dengan punggung tegang. Aku menjauhkan ponsel dari telinga yang melihat siapakah gerangan yang menelfon saat ini.

"Sorry, Dhik... Gue kira lo siapa. Gue nggak liat-liat dulu tati."

Aku mendadak tak enak hati pada Dhika.

Laki-laki diseberang sana terdengar tertawa kecil, "its okay, manusiawi kok. Tapi gue agak kaget sih lo bisa ngumpat begitu."

"Kata lo manusiawi, gue juga manusia yang bisa ngomong kasar, Dhik."

"Iya deh iya... Btw, gue telfon lo karena gue lagi di Jakarta nih. Lo nggak mau gitu jemput gue di bandara?" Tanyanya dengan nada bercanda. Mengobrol dengan Dhika seperti ini membuatku merasa lebih baik.

Aku lebih santai dan tidak setegang tadi.

"Manja... Sini aja ke rumah gue, nanti gue kirim alamatnya."

"Bercanda gue, ini mau naik taksi ke hotel dulu. Ntar gue samperin rumah lo."

"Oke siap, ditunggu, Dhik."

***

Karena nggak punya kegiatan apapun selain beberes, akhirnya aku membereskan rumah dan aku memulainya dengan halaman depan.

Halaman rumah ini nggak begitu besar, itupun sebagian sudah dipasang paving dari gerbang hingga garasi. Hanya ada satu petak kecil di sisi kiri yang dulu penuh bunga milik Mama. Kini tidak ada satupun bunga tumbuh disana dan hanya ada rumit hijau yang disiram kalau hujan turun.

Bertemu Lewat KataWhere stories live. Discover now