Part 6

705 142 5
                                    

Ini hari keempatku ada disini dan sampai matahari meninggi aku masih rebahan diatas ranjang sambil membaca novel yang syukurnya sempat ku masukkan kedalam koper.

Aku mulai kebosanan, dan membutuhkan cahaya matahari.

Niatnya malam ini aku akan pindah hotel, yang awalnya mau langsung pindah keesokan harinya, kini malah bertahan sampai hari ke empat.

Tepat setelah editorku setuju dengan naskah final. Aku mulai membereskan barang-barang. Dhika janji malam ini akan mengajakku main keluar, cari street food katanya.

Aku menyempatkan diri untuk mengecek email dan ada beberapa email dari Guntur yang menanyakan posisiku sedang ada dimana. Dan sudah jelas, aku nggak membalasnya sama sekali.

Persetan dengan laki-laki itu.

Nggak mau mood makin rusak karena si brengsek itu, aku segera mandi dan bersiap untuk cek out. Dhika menyarankan sebuah hotel yang nyaman dan dekat dengan posisinya, sehingga dia nggak perlu berkendara jauh dan dia bisa menemaniku disaat-saat tertentu.

Aku nggak keberatan dengan niat baiknya dan langsung cek out tanpa pikir panjang.

Jarak tempuh dari hotel ini ke hotel yang akan ku tinggali beberapa hari kedepan tentu cukup jauh, sekitar 45 menit, tepat di pusat kota yang cukup panas.

Setelah cek in, aku rebahan sebentar dan nggak sadar kalau aku ketiduran. Pukul 5 aku terbangun karena dering ponselku.

Nama Dhika berkedip-kedip disana.

"Gue udah dibawah nih, mau nyusul atau gue ke atas?"

Aku belum sepenuhnya bangun, dan bengong sebentar sebelum Dhika kembali mengulang pertanyaan yang kurang lebih sama.

"Ya udah... Ke atas aja..." Aku menyebutkan nomor kamar dan bersiap, setidaknya mencuci wajah agar kelihatan lebih segar.

Bell berbunyi setelah aku selesai dengan kegiatanku, mengenakan kaos oversize aku menyambut Dhika dan membuka pintu lebar-lebar, membiarkan dia masuk membawa satu kantong plastik berwarna putih yang aku nggak tau isinya apa.

"Oke kan, hotelnya?" Tanya dia seraya duduk di single sofa satu-satunya di kamar ini.

Mataku menelisik keseluruh kamar dan mengangguk kecil. Saat datang aku belum sempat melihat-lihat karena mata sudah terasa berat dan hawa dingin dari air conditioner membuatku makin nggak mampu menahan diri buat enggak langsing tidur.

"Not bad lah, lo bawa apa?" Dia mengajakku ke balkon dan kami duduk disana. Dhika mengeluarkan dua kotak dengan logo yang cukup familiar. Menu bebek dengan bumbu madura langsung tercium saat dia membuka salah satu kotak tersebut.

"Lo mau ngajakin gue kuliner, tapi jam segini bawain makan juga?" Tanyaku tak percaya.

"Kuliner paling cuma nyemil doang, kita makan dulu. Gue izin ke toilet buat cuci tangan."

Aku membiarkan Dhika berlalu ke toilet dan kembali beberapa saat kemudian.

"Lo yakin nggak kekenyangan nanti?" Tanyaku enggak yakin. Dhika memang membelikan dua bungkus makanan dan dia telah menawarkan satu untukku. Tapi aku ragu, takut kalau malah nanti terlalu kenyang dan nggak dapat menikmati makanan yang akan kami beli nanti malam.

"Kalau lo nggak mau, gue yang makan aja." Dia bersiap menarik satu boks makanan lagi dan aku langsung mencegahnya.

"Gue icip dikit, bentar... Cuci tangan dulu."

Melihat nasi dicampur bumbu hitam khas madura membuatku nggak bisa tahan godaan. Seenggaknya aku bisa mencicipinya sedikit supaya nggak penasaran lagi.

Setelah kembali, aku melihat Dhika hampir menghabiskan semua makannya.

Aku membagi setengah nasi dan disambut suka cita oleh laki-laki itu.

Aku sampai heran, kemana semua makanan itu pergi selama ini? Dengan proporsi tubuhnya, Dhika enggak kelihatan seperti laki-laki yang makan dengan porsi menggunung, tapi aku melihatnya sendiri. Dua kali.

Atau dia memang punya waktu khusus untuk membakar kalori tiap harinya?

Mungkin aku perlu bertanya nanti.

***

Aku membonceng Dhika. Malam ini dia menggunakan motor maticnya dan menyerahkan satu helm kepadaku. Aku sama sekali nggak keberatan karena semasa kuliah dulu, aku juga lebih suka menggunakan motor untuk bepergian karena lebih mudah.

Sebelum datang, Dhika sempat bertanya apakah aku keberatan jika dia menjemputku dengan motor saja. Dan tentu aku menjawab tidak. Aku tidak keberatan sama sekali.

Syukurnya malam ini cukup terang, langit penuh bintang dan nggak ada tanda-tanda akan hujan sama sekali.

"Pegangan." Dia menarik tanganku agar memeluk pinggangnya yang ramping.

"Gue bukan anak kecil kali, Dhik..." Gerutuku bercanda sambil menepuk punggungnya yang lebar.

"Ya kan siapa tau lo takut gitu." Aku cuma membalas dengan gumam kecil.

Lama sekali rasanya aku tidak berkendara malam dengan motor seperti ini. Guntur bukan tipe laki-laki yang suka mengendarai motor, dan selama pacaran kami selalu pakai mobil.

Mobil juga enggak salah, hampir semua orang mungkin akan mengatakan jika menggunakan mobil lebih nyaman dari pada motor. Tidak takut kehujanan atau kepanasan, jika di luar panas bisa menggunakan AC.

Tapi mungkin sesekali berkendara seperti ini tidak masalah juga. Lebih efisien dari segi apapun, bahan bakar, parkir mudah, jarang terjebak macet, dan mungkin... Bisa memeluk orang yang kita suka dengan alasan klasik.

Terakhir kali aku mengendarai motor saat semester akhir masa perkuliahan. Aku mengalami insiden yang cukup buruk hingga akhirnya Papa melarangku untuk berkendara sendiri lagi. Aku jatuh terserempet mobil saat terburu-buru mengejar jadwal dosen pembimbing yang super sibuk itu hingga tanganku patah dan harus di gips. Buruknya, aku harus sidang dengan kondisi tangan yang belum sembuh.

Kenangan itu sama sekali nggak terlupakan.

Sejauh 10 menit berkendara dengan motor hanya satu yang membuatku terganggu dan agak frustasi, aku nggak bisa dengar apa yang Dhika katakan hingga dia harus mengulangnya beberapa kali.

"Gue tanya, lo nggak ada alergi apa-apa kan?" Ulang Dhika bertanya saat kami berhenti di lampu merah. Tangannya menyentuh lututku dan mendadak aku teringat sesuatu.

Katanya, kalau lagi pacaran sambil motoran, menyentuh lutut pasangan dan mengusapnya kalau lagi berhenti di lampu merah terkesan romantis. Tapi kenapa aku biasa saja?

Atau karena ini hanya Dhika, laki-laki yang ku sebut teman.

Bertemu Lewat KataWhere stories live. Discover now