Part 21

594 151 2
                                    

"Gandhi bener, jangan buru-buru terima. Lo coba liat aja seberapa besar effort dia buat ngambil hati lo. Toh juga tunangannya meninggal bukan karena dia. Kata lo almarhum sakit, jadi ya nggak papa lah."

Jika aku bukan orang yang mendengarkan secara langsung bagaimana sakitnya ditinggalkan oleh kekasih selama-lamanya, aku mungkin akan baik-baik saja dan dengan senang hati menerima Dhika yang kelihatannya memang baik-baik saja. Dia menjalani hidupnya dengan baik, pekerjaannya juga lumayan.

Dhika adalah sosok yang sempurna di mata orang yang tidak tau kisah hidupnya. Sementara aku? Biasa saja. Aku hanya perempuan yang habis di khianati dan nggak punya pekerjaan yang pasti.

Aku takut jika Dhika terlalu menaruh ekspektasinya terlalu tinggi terhadapku dan berakhir mengecewakannya.

"Ah... Nggak tau lah, pusing gue."

"Nggak usah lo pikirin, jalanin aja. Yang penting jangan tolak Dhika sekarang, jalanin dulu, kalau emang fiks lo nggak cocok, ya udah lepasin."

Seperti saran Nanda, aku memilih untuk mengeluarkan Dhika dari dalam kepala dan main bersama Raffa yang mulai merengek.

"Kayanya udah laper dia, pinjem kamar, mau nyusuin Raffa dulu."

"Pakai aja, mau kamar gue, atau kamar itu juga bersih kok." Aku menunjuk kamar di lantai satu yang beberapa waktu lalu di pakai oleh Dhika saat menginap. Lagi-lagi otakku tanpa sengaja malah mengingat Dhika.

Nanda masuk ke dalam kamar di lantai bawah, tak jauh dari posisi kami sekarang.

"Mana nomor hape lo."

"Lo beneran mau gangguin gue pas lagi gabut?" Tanya Gandhi nggak percaya.

Aku tertawa, "Ya enggak lah, kalau sewaktu-waktu gue ada apa-apa kan bisa langsung telfon lo."

"Doa lo yang bener mbak... Ntar di kabulin loh."

Gandhi menyebutkan sederet angka dan aku langsung menyimpannya, bertepatan dengan bell depan yang berbunyi.

"Bukain sana..." Aku menyenggol Gandhi dan sedikit memerintah laki-laki yang sudah ku anggap adik sendiri itu untuk mengecek tamu.

"Beneran kacung gue kalau sama kalian," gerutu Gandhi sambil bangkit dan berjalan ke pintu utama yang nggak seberapa jauh.

"Lo bakal jadi kacung gue sama Nanda sampai lo nikah!" Seruku bercanda.

"Gue lamar citra besok," balas Gandhi setengah berteriak dari pintu utama.

Aku tertawa mendengarnya. Jika besok Gandhi beneran melamar Citra, aku sudah nggak heran lagi. Waktu bertemu Citra di rumah orang tua Nanda beberapa saat lalu, aku melihat mereka saling menjaga satu sama lain, Gandhi juga terlihat sangat menghormati Citra begitupun sebaliknya.

"Siapa, Ndhi?" Tanyaku saat mendengar derap langkah kaki yang mendekat, namun mataku masih terpaku pada layar ponsel, berselancar di sosial media.

"Mas Dhika, Mbak."

Aku spontan menoleh, Dhika benar-benar berjalan di belakang Gandhi dan duduk bergabung bersama kami di karpet yang terbentang lebar.

"Nggak bilang kalau mau datang," kataku membuka obrolan. Ingin abai, tapi nggak enak karena ada Gandhi dan Nanda di rumah ini.

"Mau bilang dulu juga paling nggak direspon, chat gue dari kemarin aja nggak di bales sama sekali."

"Ngambek, Mas... Biasa lah, namanya juga cewek."

"Iya kayanya, makanya mau gue sogok sama kopi, tapi kayanya nggak mempan."

"Apaan sih!" Decakku.

"Buat mbak Mai doang? Gue enggak?" Gandhi jelas hanya menggoda Dhika, nggak berniat serius sama sekali.

"Pesen aja, ntar gue yang bayarin."

"Ndhi, gue laporin Nanda lo suka minta-minta sama orang," tegurku pada Gandhi.

"Bercanda doang, elah... Tapi makanan boleh lah."

"Gue masak ntar, nggak usah pada beli."

"Emang ada bahan makanan? Kayanya kulkas lo kosong, Mbak."

"Ada kayanya."

***

Aku akhirnya memesan bahan makanan lewat online karena ternyata di kulkas sudah tidak ada lagi bahana makanan kecuali makanan beku yang sama sekali nggak cocok buat makan para orang dewasa disini.

"Tinggal beli aja sih, ribet amat..." Gerutu Gandhi yang ku perintah mengambilkan bahan makanan di depan.

"Bawel."

"Oh, lo mau kasih tunjuk kalau lo bisa masak ya ke mas Dhika."

"Ndhi... Bacot lo ya! Mau mulut lo gue cabein?" Aku menatap Gandhi garang sebelum berlalu ke dapur.

"Mau gue bantuin nggak?" Tanya Dhika yang ternyata mengikutiku masuk ke dapur. Mendadak aku ingat saat dia membuatkan sarapan untukku pagi itu.

Aku membayangkan dia berkeliaran di dapur dengan santainya, mengeksplor makanan yang bisa di buat dengan bahan seadanya. Apakah dia menggunakan celemek yang menggantung di dinding dapur?

"Lo sama Gandhi aja, gue nanti paling dibantu Nanda."

Aku sudah ke kamar untuk meminta Nanda bantu memasak kalau sudah selesai dengan Raffa. Namun bayi menggemaskan itu ternyata belum tidur dan mengajak ibunya main, padahal kata Nanda sudah di susui.

"Nanti kalau Nanda ke sini gue ke depan."

Aku membuka dan mengeluarkan bahan makanan dari kantung belanja dan mengecek apakah semua sesuai pesanan.

Niatnya, aku ingin membuat ayam goreng mentega, tumis kangkung telur puyuh dan sambal, ada beberapa jenis sayuran yang bisa di lalap dan cocok dimakan dengan sambal.

"Potongin kangkungnya aja."

Aku menyerahkan dua ikat kangkung yang ukurannya nggak begitu begitu besar dengan wadahnya. Sambil menyiapkan bahan makanan, aku menyalakan kompor dan merebus air untuk merebus telur puyuh yang ku beli kebanyakan.

"Lusa ada kegiatan nggak, Mai?" Suara Dhika mengalun memenuhi setiap sudut dapurku yang nggak seberapa besar.

"Gue kan pengangguran sekarang, jadi ya nggak ada." Aku menggedikkan bahu pelan tanpa menoleh ke arah Dhika. Tanganku bergerak mengambil bawang bombai dan mengupasnya.

"Jalan yuk, nonton atau kemana gitu."

Kepalaku bergerak menatap Dhika yang sedang serius memisahkan batang kangkung dan daunnya.

"Tau nggak, lo kaya lagi ngajakin anak 20 tahun kencan."

"Ya maklum, gue udah lama nggak ngajak kencan anak orang."

Bertemu Lewat KataWhere stories live. Discover now