Part 26

554 145 10
                                    

Gandhi menemaniku bertemu dengan keluarga pelaku disalah satu tempat makan dekat kantor polisi dimana Gandhi bertugas.

"Itu, Mbak," tunjuk Gandhi pada seorang ibu yang sudah berusia lanjut didampingi seorang gadis dan bapak-bapak yang ku kira adalah suami si ibu.

Mereka berdiri menyambut kedatanganku dan Gandhi.

"Bu, ini Mbak Maira, korban pelecehan yang telah anak ibu lakukan tempo hari." Ibu itu menatapku dengan mata dan berkaca-kaca, dan tak butuh waktu lama hingga tangisnya tumpah.

Si ibu berjalan tergesa mengitari meja dan bersimpuh dikakiku dengan tak terduga. Aku panik dan berjongkok membantu si ibu berdiri.

"Bu, jangan seperti ini," pintaku dan membantu beliau bangkit, menuntun si ibu untuk duduk.

Untung saja saat ini sedang sepi, hanya ada beberapa orang yang tampaknya sedang bekerja dan nggak peduli dengan sekitar, juga pelayan yang berada di balik meja kasir. Untungnya posisi kami cukup jauh dari keramaian sehingga nggak menjadi pusat perhatian.

"Saya mohon maaf nak, atas apa yang sudah anak saya lakukan, saya benar-benar minta maaf." Beliau memegang kedua tanganku dengan erat. Gandhi tampak ingin memisahkan, namun dengan kode mata aku memintanya untuk diam dan memperhatikan saja.

Dilihat dari penampilan keluarga Arwandi, mereka tampak sangat sederhana, gamis juga hijab yang digunakan si ibu terlihat lusuh dan berantakan. Mungkin mereka terburu-buru saat tadi pagi aku memberitahu Gandhi kalau aku bersedia untuk bertemu mereka.

"Nak, ibu mohon... Wandi anak pertama kami, dia sangat pintar hingga mendapatkan beasiswa disini, ibu mohon Nak, tolong cabut tuntutannya."

Sejak awal mereka ingin bertemu denganku, aku tau apa tujuannya. Sejak awal aku sudah bersikeras tidak mau berdamai, namun melihat bagaimana keluarga ini mengharapkan anak pertama mereka sukses di perantauan apakah aku tega?

"Nak, ibu mohon. Tidak masalah dia tidak lagi mendapatkan beasiswa dan melanjutkan kuliahnya, tapi biarkan kami membawanya pulang."

"Ibu, sebelumnya saya meminta maaf atas apa yang sudah terjadi. Saya menyesal karena ibu sekeluarga mengalami hal ini, tapi... Saya tidak bisa mencabut tuntutan saya bu. Saya mohon maaf."

Aku ingin berlaku sombong dan congkak supaya mereka sadar, tapi enggak bisa. Yang bejat hanya kelakuan anaknya, bukan keluarganya yang datang dan mengemis belas kasihan dariku.

"Nak, apakah nggak ada sedikitpun belas kasihan untuk kami? Kami hanya orang biasa yang datang dari desa. Wandi juga bilang kalau ini adalah kali pertama dan hanya iseng saat melakukannya. Lagipula Mbak Maira tidak sampai di perkosa kan?" Suara si bapak yang ku kira adalah ayahnya Wandi terdengar halus, namun cukup membuatku marah.

Kini aku beralih menatap si bapak dengan tatapan tegas, tanpa belas kasihan sama sekali, kemudian mataku melirik pada seorang gadis yang sejak tadi tertunduk diam.

"Bapak, saya juga disini bukan siapa-siapa. Saya bukan artis, saya bukan anak dari tokoh politik, saya juga bukan orang kaya seperti yang bapak pikirkan. Saya sama seperti kalian. Memang apa yang dilakukan pelaku hanyalah hal sepele. Dan iya, saya tidak sampai di perkosa. Tapi apa bapak dan keluarga akan diam saja jika ada anak atau keluarga lain dilecehkan, dan baru lapor polisi saat korban sudah sampai di perkosa? Disini saya lihat bapak dan Ibu punya anak perempuan."

Aku bukan ingin mendoakan agar karma berbalik ke mereka. Tapi aku ingin menyadarkan keluarga pelaku kalau apa yang dia lakukan itu bukan hal yang bisa di maklumi.

"Mungkin saya terlihat kejam dan tidak memiliki perasaan, tapi kalian juga harus paham atas apa yang telah di lakukan anak kalian adalah suatu kesalahan."

Aku membuka air mineral yang ada diatas meja. Sebelum aku datang, sudah ada beberapa minuman yang tersedia disini, mungkin mereka memesannya untuk menjamuku agar terlihat sopan.

Gandhi mengambil alih pembicaraan, dia menjelaskan jika perbuatan Wandi bisa di kenai pasal pelecehan seksual secara fisik dan dapat di kenai hukuman pidana penjara paling lama empat tahun, atau denda paling banyak lima puluh juta rupiah. Aku juga sempat riset mengenai hukuman yang didapatkan pelaku pelecehan seksual, kurang lebih sama dengan apa yang Gandhi katakan.

"Disini seharusnya bukan saya yang ibu dan bapak ajak bicara, tapi anak lelaki kalian, saya permisi ke toilet sebentar."

Aku beranjak dari kursi dan membiarkan Gandhi menenangkan keluarga pelaku yang tampaknya sedikit terkejut mengenai hukuman yang kemungkinan di dapatkan oleh pelaku.

Ku tatap diriku di kaca wastafel setelah sedikit menenangkan diri. Aku hanya berusaha meyakinkan diri kalau apa yang ku lakukan sudah benar.

Saat keluar aku melipir ke meja kasir.

"Mbak, meja nomor delapan belum di bayar kan?" Tanyaku pada kasir yang berjaga.

"Belum, Kak."

"Totalnya berapa?" Dia menyebutkan nominal yang harus di bayarkan. Berhubung aku belum menarik uang cash, jadi aku memilih membayarkan dengan debit.

"Terimakasih, Kak."

Aku tersenyum dan mengangguk, kemudian kembali ke meja. Si ibu sudah tidak lagi menangis, namun wajahnya masih murung begitu juga dengan si bapak dan gadis yang sejak tadi diam saja.

"Bapak ibu, mohon maaf. Tanpa mengurangi rasa hormat, saya pamit undur diri terlebih dahulu karena adik saya juga harus kembali bertugas. Untuk makanan, sudah saya bayar kan, jika ingin dibungkus juga tidak masalah karena sepertinya belum disentuh sama sekali."

"Kak..." Si gadis yang sejak tadi diam buka suara dan dengan takut-takut menatapku.

"Ya?"

"Boleh bicara sebentar?" Aku melirik Gandhi, kemudian kembali ke si gadis yang tampak sangat berharap.

"Boleh, mau bicara di luar?"

Aku mengajaknya ke bagian outdoor untuk berbicara berdua, meninggalkan Gandhi dan kedua orang tua gadis ini didalam.

"Siapa nama kamu?" Tanyaku pada si gadis yang asik meremas ujung kemeja yang dia pakai. Tampak sekali gelisah.

"Ayu."

"Okay Ayu, apa yang mau kamu katakan? Kalau kamu minta Kakak untuk mencabut tuntutan, Kakak minta maaf karena nggak bisa."

Ayu menggeleng lemah, "Ayu cuma mau minta maaf atas apa yang sudah bang Wandi lakukan ke Kakak, dan terimakasih."

Aku agak terkejut mendengar dia mengucapkan terimakasih.

"Kenapa?"

Bertemu Lewat KataHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin