Part 9

651 145 6
                                    

Di hari kelima akhirnya Papa diizinkan pulang dengan segepok obat yang harus dia konsumsi secara teratur. Sejak datang aku selalu menemaninya dan hanya pulang untuk berganti pakaian saja.

Risti tidak lagi datang setelah itu, entah dia merasa kalah atau memilih menghindar sementara karena kondisi Papa yang masih butuh pemulihan.

Aku mengendarai mobil Papa membawa mereka kembali ke rumah. Rumah penuh kenangan yang telah lama ku tinggalkan.

Sampai di halaman, aku mengenal mobil yang terparkir diluar pagar rumah. Setelah apa yang sudah terjadi, berani-beraninya laki-laki itu muncul dihadapanku lagi. Bahkan di rumah keluargaku. Nggak tau malu!

Walaupun sakit hati dan kecewa luar biasa, tapi kini aku bersyukur Tuhan sudah sangat berbaik kepadaku karena telah ditunjukkan bagaimana sifat Guntur yang sesungguhnya.

Aku nggak bisa membayangkan kalau kami sampai ke tahap yang lebih serius dan baru mendapati kenyataan itu setelah menaruh seluruh hati dan kepercayaanku untuknya.

"Guntur lagi disini?" Suara Papa menyapa saat melihat laki-laki itu mengobrol dengan Risti di ruang tamu. Mereka tampaknya tengah bersitegang karena ekspresi yang di tunjukkan Risti. Apalagi saat melihatku masuk bersama Papa dan Tante Minah.

"Iya Om, saya dapet kabar kalau Om masuk rumah sakit tapi nggak sempet jenguk disana, maaf ya Om."

"Nggak papa, Om udah baik-baik aja, apalagi ada Maira yang ngerawat, jadi semangat buat cepet sembuh," candanya.

Walaupun enggak suka dengan jenis bercandaan seperti itu, tapi setidaknya hal itu bisa membuatku lebih tenang karena Papa perlahan mulai bugar kembali walaupun sempat mengeluh karena nggak bisa merokok lagi.

"Boleh ajak Maira sebentar, Om? Mau ngobrol, udah lama nggak ketemu."

"Oh ya silahkan..."

Guntur mengajakku keluar. Aku hanya menurut dengan malas-malasan, dia itu amnesia ya? Dia lupa kalau udah ngomong aku naif? Bahkan sampai nampar pakai tangannya sendiri? Dan sekarang dia masih punya muka buat ngajak ngobrol?

Kalau saja Papa sedang baik-baik saja, aku akan mengeluarkan sumpah serapahku untuk lelaki yang satu ini tanpa peduli dia siapa.

"Mau ngapain sih? Gue capek, mau balik ke rumah, istirahat. Gue nggak ada tenaga buat ngladenin lo."

"Maira... Aku cuma mau minta maaf atas semuanya. Atas perselingkuhan aku sama Risti, atas nampar kamu waktu itu. Aku bener-bener minta maaf, Mai."

"Aduh, gue nggak butuh maaf lo... telen sendiri aja permintaan maaf lo."

"Ngapain sih kamu ngemis-ngemis maaf dari dia? Kamu sendiri kan yang bilang kalau..."

"Risti!"

"Udah lah, nggak usah libatin gue sama masalah percintaan kalian, gue udah nggak butuh lo lagi..." Aku melengos dan kini menghadap Risti sepenuhnya, "dan lo... Gue kira kita saudara, tapi... Saudara terdengar terlalu mewah buat orang yang selingkuh sama pacar adiknya sendiri."

Aku langsung masuk ke dalam rumah, berniat pamit pada Papa untuk kembali ke rumah.

***

"Lo udah baik-baik aja?" Suara Dhika mendominasi kamar. Aku sedang membongkar koperku dan membiarkan ponsel tergeletak diatas ranjang dengan mode loud speaker.

"Ya, I'm fine. Gue juga udah balik ke rumah buat beres-beres."

"Kenapa malam itu lo nggak telfon gue sih? Gue kan bisa antar lo ke bandara."

"Mana kepikiran sih, Dhik... Gue panik pas baca email dari... Kakak gue dan nggak kepikiran buat telfon lo gitu."

"Ya udah, istirahat sana. Lo pasti capek habis perjalanan langsung jagain bokap di RS, jangan lupa makan."

"Iya iya. But, thanks ya Dhik, udah nemenin gue selama di Surabaya. Kapan-kapan kalau lo ke Jakarta gantian gue yang nemenin lo."

"Janji ya lo, nanti gue kabarin kalau gue ada dinas ke Jakarta."

"Iya janji, bye Dhik... Gue mau istirahat dulu."

"Oke, bye..."

Kira-kira begitulah obrolanku dengan Dhika sore ini. Minggu lalu, tepat setelah aku mendarat di Jakarta dan bertemu Papa, Dhika mengirimkan pesan dan bertanya aku sedang dimana.

Katanya dia sempat kembali ke hotel dan tidak mendapatiku lagi disana. Aku langsung memberikan penjelasan singkat dan dia nggak banyak komentar selain mengirimkan ucapan doa agar Papa cepat sembuh.

Dan kami baru sempat mengobrol via telfon sekarang.

Aku pada akhirnya kelelahan, lelah fisik dan batin sekaligus. Melarikan diri ternyata enggak cukup mampu membuatku merasa lebih baik.

Saat di rumah Papa tadi, aku melihat bagaimana Risti dan Guntur berinteraksi dan aku mengira kalau mereka telah menjalin hubungan yang cukup lama hingga pada akhirnya ketahuan.

Hingga kini, aku tidak tau letak salahku dimana selain karena aku tidak mau diajak tidur oleh Guntur. Aku bukan orang suci, aku bukan perempuan agamis, aku bukan penganut no sex before marriage juga, tapi untuk memutuskan 'tidur' dengan seseorang perlu komitmen yang cukup membuatku melakukannya.

Perlu pemikiran panjang sebelum melakukannya karena dampak yang ditimbulkan akan sangat besar dan akan sangat merugikanku jika aku salah ambil langkah.

Perempuan... Selalu identik dengan keperawanan. Aku terkadang memikirkannya jika Guntur sedang tidak mampu menahan diri.

Jika aku dan dia pada akhirnya tidak bisa bersama, keperawanan yang telah ku relakan demi nafsu semata tidak akan pernah kembali lagi, berbeda dengan laki-laki yang tidak meninggalkan bekas. Belum lagi jika ceroboh dan pada akhirnya hamil.

Imajinasi itu terlalu nyata untuk diabaikan begitu saja. Cerita-cerita mengerikan kini bertebaran di internet dan membuatku memikirkan ulang semuanya dan nggak gegabah agar kejadian yang didasari nafsu sesaat tidak menghambat langkahku kedepan.

Dan terbukti. Guntur bukan orang yang tepat untukku.

----

Teman malam minggu kalian.

Enjoy 💋💋

Bertemu Lewat KataWhere stories live. Discover now