Part 24

584 154 12
                                    

Laki-laki sialan itu pada akhirnya di bawa ke pos keamanan dengan bukti CCTV yang ada. Untungnya aku berada di posisi yang pas dan CCTV infrared yang ada didalam bioskop menangkap semua kejadian yang hanya berlangsung sepersekian detik saja, namun semuanya terlihat sangat jelas.

Si laki-laki yang dilihat dari KTP-nya bernama Arwandi itu sempat memohon-mohon untuk damai, tapi aku menulikan telinga dan nggak peduli mau sesebentar atau sejauh apa dia melakukan aksinya. Yang dia lakukan jelas pelecehan seksual, apalagi aku sempat menghindar dan dia malah kembali mendekat untuk melancarkan aksinya itu.

Aku memilih menunggu diluar sementara Gandhi dan teman-temannya mengamankan bukti CCTV.

"Lo udah nggak papa?" Tanya Dhika yang sejak tadi lebih banyak diam, "Gue maaf karena udah ninggalin lo sendirian tadi."

Sejak tadi Dhika terus terusan minta maaf dan terlihat sekali dia menyesal dan membuatku mengalami pengalaman yang paling nggak aku lupakan seumur hidupku. Padahal aku selama ini pergi kemana pun sendirian selalu merasa aman dan nggak ada masalah sama sekali.

"Udah ah, minta maaf mulu dari tadi, gue mau ke toilet dulu trus kita pulang."

Aku meninggalkan Dhika yang masih berada di depan ruang keamanan dan aku melipir kearah toilet yang kebetulan sedang sepi. Jam segini, film rata-rata masih di putar sehingga pengunjung belum memenuhi toilet sama sekali.

"Gue juga denger, pantes sih di lecehin, pakaiannya aja kaya agak terbuka gitu."

Aku mengurungkan niatku keluar dari bilik toilet. Kepalaku menunduk untuk mengecek penampilanku sendiri dan nggak ada yang salah sama sekali. Aku mengenakan rok a line sedikit dibawah lutut dan baju yang memang agak sedikit pas di badan dan membentuk lekuk tubuh, tapi semuanya normal, bahkan menurutku cenderung sopan.

Aku membuka bilik toilet dan kedua orang yang tadi ku dengar sedang ghibah langsung tergagap melihatku yang berjalan ke salah satu wastafel yang kosong. Melihat dari seragam mereka sepertinya adalah staff mall ini.

"Gue doain lo berdua ngerasain apa yang gue rasain hari ini." Aku mengibas tanganku yang basah dengan kasar hingga mengenai mereka.

Kalimatku memang kasar, tapi mulut mereka harus di bungkam supaya nggak makin banyak bacot. Kini aku mengerti kenapa sebagian besar korban pelecehan memilih bungkam dari pada lapor ke pihak berwenang.

Orang-orang seperti mereka malah menyalahkan korban, entah dari pakaiannya lah, tingkah lakunya lah, padahal korban di luaran sana yang mengenakan pakaian super tertutup pun masih ada saja yang kena.

Kalau sudah begitu, masih menyalahkan korban? Sementara mereka tutup mata dan seolah maklum atas tingkah bejat laki-laki yang otaknya cuma sebiji kecambah.

"Maaf mbak..."

Aku nggak peduli dengan permintaan maaf yang keluar dari mulut yang baru saja menggunjingku.

Ku langkahkan kakiku dengan tegas dan dagu terangkat.

Jikapun seluruh orang di mall ini tau aku adalah korban pelecehan seksual. Aku sama sekali enggak malu.

Bukan bangga.

Tapi karena aku tau, kalau aku enggak salah, bahkan aku mengirimnya ke balik jeruji supaya dia menyadari perbuatannya karena si brengsek itu pasti bukan hanya kali ini menjalankan aksinya. Dia kelihatan sekali percaya diri dalam menjalankan misi bejatnya.

Dengan ini, aku memang nggak memberantas semua pelaku kejahatan seksual, tapi mungkin ada beberapa perempuan yang merasa terwakilkan karena selama ini nggak berani melaporkan dan takut di gunjing, bahkan disalahkan.

***

Dari Gandhi aku mendapatkan informasi jika si pelaku adalah mahasiswa perantauan yang berasal dari salah satu daerah di Jawa Tengah. Katanya dia mendapatkan beasiswa full disalah satu Universitas Negeri di ibu kota ini dan setelah kampus mengetahui kasusnya, pagi ini juga beasiswa itu langsung di cabut.

Aku sedikit merasa bersalah, tapi dia harus menanggung perbuatannya sendiri. Apalagi ada bukti yang memberatkannya.

Dering ponsel membuatku kembali ke ranjang untuk melihat siapa si penelfon, Dhika.

Semalam dia memastikan aku pulang dengan selamat, bahkan dia memastikan semua pintu dan jendela di rumah sudah terkunci rapat dan tidak ada engsel atau kunci yang rusak.

"Kenapa sih, Dhik?" Aku masih agak mengantuk karena semalam nggak bisa tidur. Ternyata keberanian itu hanya sampai Dhika pulang dari rumah ini, dan ketakutan menghampiriku setelahnya.

Mungkin, hingga pukul 3 pagi aku baru terlelap.

"Hari ini ada orang yang bakal ke rumah lo buat ngecek pintu dan kalau memungkinkan bakal langsung dipasang smart door lock buat pintu utama."

Aku mengerutkan kening, "buat apa?"

"Biar lo lebih aman."

"Nggak usah lebay, Dhik. Gue bertahun-tahun tinggal sendiri juga nggak ada apa-apa, jangan berlebihan deh." Aku mondar mandir diatas karpet yang terbentang di lantai kamar dengan frustasi.

"Udah terima aja lah, gue tutup dulu... Nanti sore gue ke rumah lo buat ngecek."

Aku belum sempat protes dan Dhika sudah memutuskan sambungan tanpa pamit.

Pantatku terhempas ke bibir ranjang dengan lemas. Aku tidak biasa diperhatikan sebegitunya oleh orang lain, dan kini aku merasa tidak enak karena sudah merepotkan Dhika.

Selama ini aku berusaha menyelesaikan semuanya sendiri, tapi kali ini beberapa orang terlibat.

Aku merasa tak berguna. Kemana sifat independen yang selama ini ku bangun untuk menyelamatkan diriku sendiri?

Pukul sebelas beberapa orang datang untuk mengecek pintu dan jendela rumah. Disusul sesosok perempuan yang sama sekali nggak aku kenal. Senyumnya lebar saat melihatku berdiri diteras rumah untuk memperhatikan tukang memasang smart door lock di pintu utama.

"Mbak Maira?" Tanya si perempuan yang ku tafsir usianya beberapa tahun dibawahku.

"Iya, ada yang bisa di bantu?"

"Gue Anya, sepupunya Mas Dhika. Gue disuruh kesini buat nemenin mbak sementara, siapa tau mbak nggak nyaman karena banyak laki-laki yang datang hari ini."

Astaga, Dhika!

Bertemu Lewat KataWhere stories live. Discover now