Part 2

812 141 7
                                    

Rumah Guntur adalah rumah berlantai dua yang begitu estetik, memiliki warna cat abu-abu gelap dan Putih membuat rumah ini kelihatan seperti rumah pasangan muda.

Tante Rani bilang, arsitektur rumah juga pemilihan cat adalah pilihan Guntur, sementara beliau hanya mengatur isi rumah saja.

Guntur pergi keluar sebentar dan meninggalkanku dengan Tante Rani berdua saja. Awal-awal berkenalan aku cukup canggung, apalagi ini pengalaman pertama aku dikenalkan pada orang tua pacarku sendiri.

Tapi karena tante Rani cukup suka ngobrol dan santai, aku juga berangsur nyaman jika dalam kondisi seperti ini.

"Mau makan dulu? Tante bikin Mie goreng loh Mai..."

Aku mengangguk mengiyakan, lagipula aku juga belum makan dari siang dan sepertinya kami akan ke acara masih nanti malam sementara ini masih jam 4 sore.

Kami makan mie goreng buatan Tante Rani sambil mengobrolkan banyak hal. Tante Rani juga cukup suka membaca hingga obrolan kami banyak nyambungnya.

Beliau juga salah satu orang yang cukup menikmati karyaku.

"Kamu nggak ada niatan buat nikah, Mai?" Tanya tante Rani.

Beberapa pertanyaan serupa tentu sudah sering muncul belakangan ini, tapi aku berusaha buat nggak mikirin masalah nikah.

Selama aku mampu bahagia akan diriku sendiri aku sudah merasa cukup. Lagipula aku dan Guntur sama sekali nggak pernah membahas tentang pernikahan sejak awal pacaran. Entah karena memang ingin pacaran dulu atau memang ada hal lain.

Tapi untuk memulai obrolan terlebih dahulu, aku tentu tidak mau.

"Nggak tau, Tan... Belum kepikiran."

Tante Rani untungnya nggak ngomong masalah pernikahan lebih banyak lagi. Aku belum siap dicecar pernikahan oleh ibu pacarku sendiri.

Aku sempat berpikir untuk tidak menikah saja setelah menemukan fakta kalau Mama dan Papa bercerai karena sebuah penghianatan. Di buku harian Mama, aku mengetahui bahwa sejak aku SMP mereka sudah tidak lagi akur, mereka sudah memilih jalan masing-masing walau masih terikat sebuah pernikahan.

Pemicu awalnya adalah Papa selingkuh, dan selingkuhannya adalah perempuan yang sekarang menjadi ibu tiriku.

Aku ingat bahwa Papa memperkenalkannya padaku secara natural, seolah perempuan itu bukanlah penyebab awal hancurnya keluarga kami yang awalnya baik-baik saja menurutku. Dan hingga sekarang aku hanya bisa pura-pura bodoh seolah nggak pernah tau fakta yang satu itu.

Risti, kakak perempuanku sepertinya tidak tau sama sekali, karena hingga sekarang dia masih bertahan disana dan tampak akrab dengan istri Papa. Berbeda denganku yang sejak Mama meninggal memilih untuk menjaga jarak sejauh mungkin.

"Mai... Maafin tante yah, kamu nggak usah mikirin itu, tante nggak maksa kalian buat cepet-cepet nikah kok." Aku agak terkejut saat tanganku disentuh tangan lembut Tante Rani.

Beliau kelihatan merasa bersalah.

"Eh... Nggak papa kok tan, aku cuma kepikiran kerjaan aja."

***

Hal yang tidak ku suka bertambah satu karena Guntur. Pukul 8 malam akhirnya kami berangkat, di dalam mobil dia menutup mataku dengan dasi miliknya yang membuatku tidak memiliki petunjuk kami akan kemana.

Dan yang membuatku lebih kesal lagi, Guntur hanya diam saat aku bertanya sejak tadi.

Aku agak mual karena guncangan di mobil dengan mata tertutup seperti ini. Dia hanya mengelus tanganku saat aku mulai menggerutu pelan.

Aku benar-benar benci sebuah kejutan.

Awas saja jika kejutan yang dia buat nggak cukup membuatku memaafkannya. Aku mungkin akan marah dan diam selama seminggu kedepan, tidak peduli dia akan melakukan apa setelahnya.

Aku hanya bisa berharap kalau dia tidak membuat kejutan yang aneh-aneh.

Entah berapa lama perjalanan yang kami tempuh (aku jelas merasa perjalanan malam ini sangat-sangat lama) akhirnya kami sampai... Entah dimana.

Dia membantuku untuk turun dari mobil secara perlahan, kemudian menuntunku berjalan entah kemana. Suara-suara tipis terdengar, tapi aku masih belum memiliki gambaran sama sekali.

"Stop... Tunggu disini... Di hitungan ketiga, buka penutup matanya." Guntur memegang kedua bahuku dan memintaku berhenti.

Aku hanya menurut saja.

Suaranya menghitung mulai terdengar dan saat angka tiga di sebut, aku perlahan membuka penutup mataku.

Sejenak, aku kehilangan orientasi. Ruangannya cukup remang dengan lampu berwarna biru dan merah. Aku melihat orang-orang bersorak dan Guntur didepanku membawa kue.

Jujur... Norak.

"Make a wish dulu..." Nggak mau mematahkan semangatnya, aku hanya bisa ikut apa yang dia ucapkan, kemudian meniup lilin dan menerima banyak sekali ucapan selamat ulang tahun dari teman, rekan kerja, editor, bahkan ada Risti.

Sudah berulang kali aku katakan padanya kalau aku tidak suka acara-acara seperti ini, tapi dia tetap membuatkannya tanpa peduli aku menyukainya atau tidak.

Aku akhirnya berusaha bertahan mendengarkan musik yang nggak seleraku banget, kemudian melihat orang-orang menari dan minum, sementara disampingku ada Guntur yang juga tampak menyukai suasana acara yang dia buat sendiri.

"Nggak mau joget?" Tanya dengan suara yang agak kencang.

"Nggak ah, males..." Dia nggak berkomentar banyak dan memilih mengajakku berfoto di tengah cahaya seadanya.

Dia memposting beberapa di story Instagramnya.

"Nanti kadonya di rumah ya?"

Melihat ini semua, aku nggak lagi berharap banyak pada Guntur. Terserah dia mau kasih kado apa, aku toh juga nggak minta.

"Iya, makasih..."

Dia cuma mengangguk sambil mencium pipiku beberapa kali.

"Ke toilet bentar ya sayang..." Pamitnya.

Aku membiarkan Guntur berlalu dari hadapanku dan mengecek ponsel yang sejak di rumah Tante Rani ku abaikan demi menghormati beliau.

Happy b'day Maira.
Sini main ke Surabaya, baru gue kasih hadiah 😂😂

Dhika mengirimkan pesan yang hanya ku balas terimakasih juga emoticon ketawa.

Kepalaku mulai pusing melihat terlalu banyak orang disekitarku. Aku memilih mencari tempat untuk bernafas sejenak dan menjernihkan kepala yang terasa berat.

Aku melipir ke area parkir yang sedikit gelap, bersandar pada salah satu mobil yang ada.

Ku tatap langit yang mendung, bulan bahkan nggak kelihatan sama sekali. Mobil Guntur terlihat dari sini, laki-laki itu bilang dia ke toilet, tapi aku melihat siluet dari dalam mobil.

Ku coba melangkah ke arah mobilnya, siapa tau maling kan?

Aku menghentikan langkah saat dari arah lain ku lihat seorang perempuan masuk dan duduk di samping kemudi. Aku tau siapa perempuan itu.

Aku sengaja tidak langsung menghampiri mereka.

Menit telah berlalu dan aku tidak lagi sabar. Aku siap menyalakan Flashlight dari ponsel dan melihat ke dalam mobil yang gelap.

Jantungku terasa jatuh ke perut saat melihat Guntur dan Risti berciuman. Gila.

Kejutan yang Guntur berikan ternyata bukan hanya sebuah pesta yang menurutku norak dan bukan aku banget.

Tapi juga perselingkuhannya dengan kakak kandungku sendiri.

Bertemu Lewat KataOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz