Part 4

776 159 4
                                    

Nggak tau mau pergi kemana, aku cuma teringat satu teman online yang niat awal nggak mau aku temui sama sekali karena satu dan lain hal.

Tapi saat dalam mode melarikan diri seperti ini, satu-satunya orang yang terlintas dikepalaku hanya dia. Dhika.

Aku belum mengabarinya sama sekali, tapi kini aku sedang duduk di bandara internasional Juanda dengan kondisi yang lagi-lagi nggak tau mau kemana.

Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di bandara ini. Semua orang kelihatan sibuk dan punya tujuan, sementara aku?

Aku hanya perempuan patah hati yang nggak punya tujuan.

Semakin aku diam, waktu semakin berjalan dan itu sama sekali nggak menolong. Sudah berkali-bali ku membuka kontak Dhika, tapi hingga kini aku belum juga mencoba mendial nomornya. Hingga akhirnya aku memilih buat nggak ngomong ke siapapun mengenai keberadaanku, termasuk Dhika.

Aku memilih untuk memesan hotel yang tak begitu jauh dari bandara untuk bermalam malam ini kemudian merencanakan hari esok setelah sampai dan istirahat.

Sejak tadi siang banyak sekali pesan yang masuk, Guntur, Risti, Papa bahkan Tante Minah juga mengirimkan pesan padaku.

Hanya butuh waktu sebentar untuk kembali menonaktifkan ponsel dan aku memasuki taksi yang sudah standby di area penjemputan.

Ya... Keputusanku kali ini mungkin akan menyusahkanku sendiri. Tapi ini lebih baik, menjauhi orang-orang yang mengenalku sementara adalah pilihan yang ku ambil saat ini.

Jalanan kota ini nggak beda jauh dengan jalanan Jakarta, hanya saja disini jauh lebih santai dan nggak begitu macet.

Nggak butuh waktu lama hingga aku sampai di hotel, cek in, kemudian melangkah dengan santai dan naik ke lantai 8, dimana kamar pesanan ku berada.

Orang-orang berlalu lalang tanpa peduli siapa aku. Dan nggak memandang aku aneh karena mengenakan kacamata hitam di jam segini.

Inilah yang aku butuhkan. Ketenangan.

***

Sejak pacaran dengan Guntur, aku hampir nggak pernah pergi sendirian. Dia selalu mau ikut kemanapun aku pergi, atau aku yang meminta dia buat menemani.

Sekarang, aku kembali pada diriku yang sesungguhnya. Perempuan yang bisa kemanapun sendiri tanpa takut dan tanpa malu.

Hari ini, aku memilih untuk breakfast di restoran hotel. Hanya dengan mengenakan baju tidur dan belum mandi -hanya cuci muka dan sikat gigi- aku turun ke lantai 2. Ponsel jelas aku tinggal di kamar karena nggak lagi berguna.

Mungkin setelah ini aku perlu membeli sim card sementara untuk membantuku memesan ojek ataupun makanan lewat online. Aku juga berniat me-log out semua akun sosial mediaku sementara untuk menutup akses dari orang-orang yang ingin menghubungiku.

Sekarang semua hal butuh smartphone, jadi aku cukup kehilangan saat benda itu benar-benar mati.

"Hallo... Boleh duduk disini?" Suara lembut yang mendayu membuatku yang awalnya fokus pada sarapanku menoleh. Seorang perempuan dengan senyum memohon berdiri dengan kedua tangan memegang piring.

Sebelum mengizinkannya duduk, aku menoleh ke sekitar dan sadar kalau semua area telah di penuhi tamu. Aku bahkan nggak tau kalau hotel ini cukup ramai.

"Oh ya, silahkan."

Aku nggak berkata lebih, lagipula sebentar lagi aku selesai sarapan dan nggak berniat untuk berlama-lama di restoran hotel.

"Makasih."

Ku sempatkan untuk melirik si perempuan yang kini duduk dihadapanku. Dia memiliki rambut sebahu yang disisir dan di blow rapi. Wajahnya putih terawat dengan mata sipit khas keturunan Tionghoa.

"Mbak dari mana?" Dari nada suaranya, ada aksen medhok yang ku kira dia telah tinggal lama di dataran pulau Jawa.

"Jakarta," jawabku singkat.

"Oh..." Untungnya dia nggak banyak tanya lagi sampai aku akhirnya selesai menghabiskan jus jeruk yang ku ambil tadi.

"Duluan ya..." Pamitku dengan sopan pada perempuan keturunan Tionghoa itu.

Aku kembali ke kamar dan berendam sebentar, menikmati air yang sudah tercampur busa mandi. Lama sekali rasanya aku tidak menikmati masa-masa seperti ini mengingat jadwalku setahun belakangan cukup padat.

Aku terus diminta untuk menerbitkan buku oleh Guntur. Dan baru ku sadari kalau secara nggak langsung aku dijadikan mesin pencetak uang baginya. Walaupun aku juga jelas mendapatkan banyak pundi-pundi uang yang bisa ku habiskan selama beberapa waktu kedepan tanpa bekerja.

Selesai berendam, aku membuka laptop dan mendengus marah melihat wallpaper laptopku menunjukkan betapa mesranya aku dan Guntur kala itu.

Sepertinya banyak hal yang harus di ubah dalam waktu singkat. Seperti mengganti wallpaper laptop dengan wallpaper basic bawaan laptop.

Bermodalkan Wi-Fi hotel, aku mengirimkan email pada Ratu, editorku yang selama ini mengatur naskah novelku.

Kontrakku dengan Livro Publisher akan berakhir bulan depan. Jika sebelumnya aku mempertimbangkan akan memperpanjang kontrak, sekarang tentu saja tidak. Bahkan jika aku bisa memutus kontrak sekarang juga, aku akan melakukannya.

Hanya saja, aku masih punya otak yang bisa ku gunakan untuk berpikir. Boleh kehilangan kekasih, tapi aku nggak boleh bodoh karena patah hati dan merelakan uang yang ku kumpulkan untuk membayar penalti pada Guntur.

Nggak sudi.

Aku mengatakan pada Ratu bahwa aku akan sedikit terlambat menyerahkan naskah final yang sudah ku tulis susah payah. Ini adalah project terakhirku dibawah naungan Livro Publisher.

Nggak dipungkiri bahwa namaku semakin dilirik sejak aku bergabung dengan Livro sekitar 3 tahun yang lalu. Aku juga sebenarnya nggak mau memutus hubungan seperti ini.

Tapi untuk bekerja sama lagi dengan Guntur? Untuk melihat wajahnya saja sudah cukup membuatku muak.

Toh juga sekarang penulis lebih dipermudah dengan maraknya platform baca tulis novel berbayar.

Aku bisa memulai dari sana lagi, dari nol lagi. Tidak masalah.

Yang jelas, aku ingin lepas sepenuhnya dari Guntur dan bayang-bayang masa lalu kami.

Bertemu Lewat KataWhere stories live. Discover now