Part 30

631 165 13
                                    

Saat berada di mobil, aku mengecek latar belakang Dhika. Nggak banyak yang bisa ku dapatkan dengan mengetikkan nama belakang Dhika yang disandang hampir semua keluarganya.

Aku sempat dikenalkan satu persatu dengan keluarga Dhika. Dia memiliki satu Om yang kini memimpin di salah satu stasiun televisi swasta besar, dan satu tante  yang telah menyandang nama Hariwijaya karena menikah dengan Gunawan Hariwijaya dan memiliki Anya dan dua saudaranya yang lain.

Saudara sepupu Dhika lumayan banyak dan jujur saja aku nggak ingat satu persatu nama mereka. Apalagi ada beberapa yang sudah menikah dan punya anak.

"Sibuk amat, sampe gue dicuekin."

"Kenapa lo nggak bilang kalau keluarga lo... Sebesar itu, Dhik?" Tanyaku yang nggak tau bagaimana mengungkapkannya. Keluarganya luar biasa terpandang, kaya raya, sementara aku? Aku bahkan nggak ada apa-apanya.

Seperti yang dua wanita di toilet tadi katakan, aku jelas bukan dari keluarga kaya.

"Ada masalah emangnya? Kebetulan gue punya banyak sepupu dan kebanyakan udah nikah aja, jadinya kaya banyak banget."

"Bukan itu, Dhik."

Menempelkan punggungku yang terasa tegang ke jok mobil. Penat, frustasi terasa bercampur menjadi satu.

"Tenang, okay? Nggak usah panik gitu." Dhika mengambil tanganku dan menggenggamnya erat, "Eyang minta ketemu lusa, cuma buat makan malam aja, bisa kan?" Kalimatnya lembut, tapi seperti ajakan perang bagiku.

"Dhik, gue ikut ke acaranya Anya cuma karena Anya, bukan kaya gini Dhika! Gue ngerasa kaya dijebak tau nggak?!" Sudah aku pusing, panik karena Eyang memperkenalkan aku pada orang lain sebagai calon istrinya Dhika. Sekarang apa lagi?

"Gue sama sekali nggak ngejebak lo, Mai. Kenapa sih lo nggak mau sama gue?"

Aku menarik tanganku dari genggamannya.

"Kita ngobrol di rumah gue."

Aku nggak mau berdebat dengan Dhika saat berkendara seperti ini. Aku masih ingin hidup untuk puluhan tahun kedepan.

Dhika akhirnya mengalah dan berkendara dengan tenang, sementara aku sibuk menenangkan diri dan mencari-cari kewarasannku kembali.

***

Kami enggak langsung turun saat mobil Dhika terlah berhenti dengan sempurna di depan gerbang rumah. Aku belum memulai pembicaraan karena bingung harus bagaimana. Sebenarnya yang salah disini bukan Dhika, melainkan aku dengan segala kekuranganku.

"Maira, lo udah mulai tenang?" Tanya Dhika memecah keheningan. Aku masih bergeming sambil meremas clucth bag yang ku bawa.

"Sebenarnya kenapa? Lo keberatan eyang ngomong kaya gitu?" Aku ingin mengatakan iya, tapi sebenarnya bukan itu yang membuatku gelisah berkepanjangan. "Kenapa lo nggak mau terima gue, Mai? Apa lo takut kalau gue akan selingkuh kaya mantan pacar lo?"

Aku menahan diri agar tidak meledak-ledak. Aku yakin, nggak akan ada solusi jika aku marah pada Dhika sementara yang menjadi masalah disini adalah diriku sendiri.

"Kalau kita nikah, gue bersedia tukar semua nama aset yang gue punya jadi nama lo, biar lo merasa aman," lanjutnya lagi dengan suara yang lembut.

"Bukan itu, Dhik... Bukan itu."

"Jadi? Lo bisa cerita sama gue, biar kita hadapi kegelisahan lo sama-sama."

"Gue takut, Dhik..." Aku menelan saliva dengan kasar, "gue takut karena gue bukan siapa-siapa."

"Emangnya gue siapa? Gue juga bukan siapa-siapa."

"Lo bagian dari Assegaf, Dhik. Keluarga lo semuanya nggak ada cela sama sekali, sementara gue? Gue bukan siapa-siapa, gue terlalu kecil buat bersanding sama lo yang... Harusnya nggak bisa gue jangkau."

Aku memang tidak memiliki prinsip hidup tertentu jika berhubungan dengan mencari pasangan. Aku tidak memiliki trauma dengan orang-orang kaya, namun menghadapinya sendiri membuatku diserang panik. Selama ini aku hanya membayangkan akan memiliki kekasih atau suami yang setara denganku atau setidaknya jarak kami nggak begitu jauh seperti Guntur. Aku bahkan nggak berlebihan membayangkan akan didekati oleh keturunan orang super kaya macam Dhika.

"Gue bukan siapa-siapa, Maira... Itu cuma keluarga gue, bukan gue." Dhika mengubah posisi duduknya menyamping dan sepenuhnya menghadapku, "Apa yang lo takutin, Maira? Gue cuma karyawan biasa yang suka sama penulis favoritnya. Dhika yang lo liat selama ini akan sama dimata keluarganya."

"Dhik, enggak sesimpel itu."

"Simpel, Maira... Gue cinta sama lo, lo juga cinta sama gue, selesai..."

"Kata siapa!" Seruku tak terima.

"Gue tadi, udah sana turun, besok siang gue tunggu jawaban lo mengenai makan malam di rumah eyang. Tapi gue harap lo bersedia."

Aku berdecak pelan dan turun dari mobil Dhika, membuka gerbang dan masuk kedalam rumah tanpa menoleh.

***

Saat ini kegiatan taman menanam menjadi salah satu yang ku sukai setelah menulis. Sejak pagi aku menyiapkan media taman untuk bibit yang sudah siap dipindahkan, katanya sih harus dibiarkan dulu sehari atau dua hari sebelum tanaman dipindahkan.

Aku hanya mengikuti tutorial yang ku dapatkan di YouTube atau google.

Suara halus mobil mahal berhenti dijalan depan. Aku memilih mengabaikannya karena ku kira itu tamu atau pemilik rumah sebelah.

Tapi aku salah....

"Mbak," panggilan itu membuat ku menghentikan kegiatan.

Aku bangkit dari posisi berjongkok, "Sebentar." Aku melepas sarung tangan sekaligus mencuci tangan yang ada di kran halaman.

"Ya? Ada yang bisa dibantu?" Aku menyapa dengan ramah, mungkin bapak-bapak ini sedang mencari alamat seseorang hingga memutuskan untuk turun dan bertanya.

"Eyang ingin bertemu dengan anda." Aku mengerjap pelan tidak siap dengan informasi yang bapak-bapak ini katakan.

"Eyang?" Aku membuka gerbang yang memang tidak terkunci sejak pagi dan melihat satu mobil besar. "Eyang Rukmini?" tebakku.

Beliau mengangguk pelan dan membimbingku untuk mendekati mobil dan membukakan pintu secara perlahan, eyang Rukmini keluar dengan anggun dan kini kami berhadapan diatas trotoar depan rumahku.

"Masuk eyang, disini panas."

Jantungku berdebar kencang antara takut dan penasaran kenapa orang nomor satu di keluarga Assegaf ini repot-repot menghampiri rumahku.

"Maaf Eyang, saya sedang berkebun, jadi halamannya agak berantakan," kataku saat Eyang berhenti didekat halaman yang berantakan.

"Apa yang kamu tanam, Mai?" Tanya Eyang dengan suara halusnya.

"Saya kurang suka merawat bunga, jadi saya lebih memilih menanam sayur, Eyang."

"Bagus lah, jadi bisa hemat juga, apalagi kalau sayurannya organik."

"Saya masih awam tentang tanaman, mungkin nanti bisa sambil belajar biar bisa tanam yang organik." Aku nggak tau harus menjawab apa, semoga saja aku nggak salah-salah kata.

"Mari Eyang, kita ngobrol di dalam."

----

Jatuh cinta sama cowok kaya Dhika tuh gampang banget, bahkan ketika kita punya trauma juga kayanya semua hal jadi mudah 😄

Dikit lagi kita sampai di ending.

Semoga sampai part ini kalian suka sama ceritanya.

❤❤

Bertemu Lewat KataWhere stories live. Discover now