Part 22

590 147 4
                                    

Sudah tiga hari belakangan kegiatanku di pagi hari agak aneh. Saat membuka mata, menunaikan kewajiban, bersih-bersih, kemudian turun ke teras rumah dan sambil berjemur aku memperhatikan beberapa media tanam yang telah di tebar benih telah muncul kecambah kecil yang akan tumbuh dalam hitungan minggu.

Aku tidak menyangka jika bercocok tanam bisa semenyenangkan ini.

Ku siram sedikit demi sedikit air agar kebutuhan mineral si calon sayur ini terpenuhi, dan dalam beberapa bulan kedepan siap ku santap.

Karena menebar benih cukup banyak, sepertinya aku membutuhkan media tanam yang lebih banyak lagi untuk menyiangi si bibit jika sudah memiliki beberapa helai daun.

"Mau sampai kapan sih di liatin, nggak bakal bisa langsung bisa di panen juga kalau lo liatin itu selama berjam-jam."

Dhika memang selalu menyebalkan di mataku. Kali ini dia juga datang ke rumah tanpa pemberitahuan, padahal aku sudah memperingatinya untuk datang dengan pemberitahuan terlebih dahulu.

"Gue udah telfon lo dari pagi, bahkan semalem gue chat, kemana hape lo?" Tanya Dhika, "bukain dulu kek pintunya." Kan... Dhika makin kesini makin menyebalkan.

Aku berjalan malas ke dalam rumah, mengambil kunci dan membukakan gerbang untuk Dhika. Kalau benar apa yang dia katakan, mungkin memang aku yang salah karena sejak bangun tidur aku sama sekali nggak mengecek ponsel.

"Ngapain sih lo kesini hampir tiap hari?" Tanyaku yang sedikit menggerutu. Aku mengikuti ucapan Nanda dan Gandhi, dengan nggak langsung menjauh dari Dhika.

"Mumpung gue belum masuk kerja, gue kan udah ngajakin lo nonton tempo hari, ini gue udah beli tiket." Dia mengeluarkan ponsel dan menunjukkan bukti kalau dia sudah memesan tiket secara online.

"Kok mendadak, kalau gue ada acara gimana?"

"Emang lo ada acara?"

Aku terdiam sebentar sebelum menggeleng kecil. Belakangan memang aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah karena nggak ada kegiatan di luar. Nanda yang sudah kembali ke pulau seberang dan aku nggak punya teman lagi untuk di ajak hang out.

"Ya udah... Malem mingguan sama gue, senin gue udah mulai kerja loh."

Aku hanya bisa berdecak pelan nggak mampu lagi menolak Dhika karena kebetulan aku juga sudah berniat menonton sejak jadwal film yang Dhika pesan muncul.

"Ya udah... Ntar sore kan? Ini masih pagi, pulang pulang sana," usirku.

"Males, di kosan juga nggak ada siapa-siapa."

"Lo kok di kosan? Nggak di rumah orang tua?"

"Rumah orang tua gue satu jam dari tempat kerja, belum lagi macetnya, ya kali gue harus bolak balik tiap pagi ke tempat kerja dari subuh."

Dhika menaruh pantatnya di atas kursi yang langsung menghadap ke dapur. Aku berniat membuat sarapan dan dengan sedikit gengsi menawarkan pada Dhika.

"Udah makan belum?"

"Belum lah, baru ngopi doang tadi."

"Sarapan? Gue bikinin sandwich."

"Nggak nolak lah gue, Mai."

Aku mengeluarkan empat lembar roti tawar tanpa kulit, selada yang ku beli kemarin dan untungnya masih segar, telur dua biji, keju slice, tomat yang dipotong tipis kalau Dhika suka, dan saus-sausan yang bisa digunakan sesuai selera.

"Suka telur setengah matang?" Tanyaku pada Dhika tanpa menoleh sama sekali.

"Enggak, yang mateng aja gue."

Aku mengangguk dan menceplok dua butir telur secara bergantian dan menata roti di atas dua piring.

"Suka tomat?"

"Suka, tapi nggak usah pakai." Aku menaruh kembali tomat yang sempat ku keluarkan dan ku cuci ke dalam lemari pendingin karena aku sendiri tidak menyukai tomat.

Nggak sampai setengah jam, akhirnya dua tangkup sandwich matang sempurna dengan keju yang sedikit melumer karena roti yang sedikit di panggang dengan mentega setelah bahan makanan ditumpuk dengan rapi.

"Coba bisa kaya gini tiap hari." Aku sedikit banyak paham maksud dari ucapannya.

"Lo nggak kasian sama tunangan lo?" Dhika yang hendak menyuap mendadak menghentikan tangannya dan menurunkan kembali sandwich yang sudah memanggil-manggil minta dimakan.

"Serius mau ngomongin ini sekarang, Mai?" Nada suaranya sedikit berbeda. Sepertinya aku salah bicara.

"Sorry..." Aku menggigit sandwich milikku tanpa menatap Dhika, bahkan lelehan keju yang akhirnya jatuh ke piring tak ku pedulikan karena mendadak merasa nggak enak karena telah menyinggungnya.

"Lo tau cerita gue, Mai... Gue udah tumpahin semuanya ke lo 3 tahun yang lalu, lewat telfon tengah malam." Aku kembali mengingat kejadian yang Dhika katakan, tapi lupa apa yang dia ceritakan.

"Gue merasa bersalah setiap ketemu perempuan baru dan nyoba buat menjalin hubungan sama perempuan lain setelah Devina nggak ada, itu kan kenapa lo buat cerita-nya Randhi punya ending yang gantung?" Aku ingat sosok Randhi yang ku tulis dalam salah satu buku milikku yang berjudul Mengenang.

Randhi adalah gambaran sempurna tentang pria patah hati yang ditinggal meninggal kekasihnya. Jika Dhika ditinggalkan kekasih karena sakit, berbeda dengan Randhi yang ditinggalkan karena kecelakaan.

Ending dari buku itu menuai banyak sekali pro dan kontra karena ending yang menggantung. Ada yang setuju jika Randhi tetap berpegang pada cinta yang dia miliki, ada juga yang setuju jika Randhi memiliki cinta baru di kemudian hari.

"Semua orang, keluarga gue... Temen gue, sahabat, bahkan keluarganya Devina suruh gue buat nyari cinta yang baru, buka hati gue buat perempuan lain. Gue berusaha sekeras mungkin lari dari rasa bersalah walaupun meninggalnya Devina bukan salah gue." Nada suara Dhika enggak berubah, tapi aku bisa merasakan emosi yang dia tahan agar tidak meledak didepanku.

"Susah, Mai... Susah banget, gue udah berjuang mati-matian buat bangkit lagi, nyoba lagi, dan gue mau lo jadi orang yang akan gue perjuangkan nantinya, tapi lo malah kaya gini."

Kepala sedikit ku angkat untuk melihat Dhika, wajahnya sedikit memerah, namun dia tak berusaha menutupinya dan melanjutkan makannya hingga habis.

"Jadi nonton nggak sore ini?"

Bertemu Lewat KataWhere stories live. Discover now