Part 8

597 133 4
                                    

Liburanku berakhir secara mendadak. Tengah malam tadi aku membaca email yang ternyata sudah dikirim sejak siang oleh Risti. Dia memberitahu kalau Papa sakit.

Aku mengakui kalau hubunganku dengan Papa telah merenggang sejak tau kalau beliau pernah berselingkuh dan menyebabkan Mama dan Papa bercerai. Tapi mendengar beliau sedang sakit, aku nggak bisa diam begitu saja.

Malam tadi aku langsung membereskan semua barang, memesan tiket pesawat paling pagi dan cek out setelah memastikan tiket pesawat ke Jakarta aman.

Pergi mendadak, pulang juga mendadak.

Kenapa belakangan ini aku selalu mendapatkan kejutan yang kurang menyenangkan? Pertanda apa ini?

Didalam pesawat aku langsung mengganti nomorku dengan nomor lama, mengembalikan nomor WhatsApp yang biasa ku gunakan. Baru setelah mendarat aku langsung mengaktifkannya dan mendapat banyak sekali notifikasi.

Namun bukan itu yang ku pedulikan.

Aku memilih untuk pulang terlebih dahulu, menaruh koper-koperku kemudian langsung ke rumah sakit yang di infokan oleh istri baru Papa.

"Maira..." Suara Tante Minah menyapa saat aku tengah menunggu lift yang terbuka. Beliau menenteng dua kantong plastik yang ku kira itu adalah sarapan yang dia beli dari kantin yang kebetulan ada di lantai satu.

"Papa sama siapa, Tan?" Tanyaku padanya.

"Ada Risti di kamar, makanya tante cari sarapan sekalian beli kopi."

Aku nggak berkomentar banyak dan langsung masuk kedalam lift yang terbuka. Tante Minah ikut masuk diikuti beberapa orang lainnya.

Pikiranku kalut, antara mau melihat kondisi Papa dan menghindari Risti.

"Papa gimana, Tan?" Tanyaku.

Aku nggak tau secara spesifik penyakit yang diderita Papa. Risti cuma nyuruh pulang dan bilang kalau Papa sakit dan aku nggak tanya mengenai penyakitnya. Kalaupun Risti bohong mengenai hal ini aku juga pasti tetap pulang karena terlalu bodoh dan bingung sehingga nggak bertanya lebih banyak.

"Udah baikan, tadi juga udah sadar, Papa kamu serangan jantung kemarin siang... Untung Risti lagi ada di rumah jadi langsung ketahuan, tante lagi di rumah tetangga pas kejadian, jadi nggak tau kronologinya."

Wajah Tante Minah sudah terlihat layu dan pucat. Mungkin khawatir pada suaminya atau bahkan semalaman begadang untuk memantau kondisi Papa.

"Nggak perlu sampai operasi kan?"

"Untungnya enggak, jangan sampai lah. Papa cuma harus lebih banyak istirahat sama jaga pola makan mulai sekarang, juga harus berhenti merokok."

Sejak dulu Papa memang seorang perokok aktif. Sebelum Mama dan Papa bercerai, Mama sudah menyarankan agar Papa berhenti merokok mengingat usia yang semakin bertambah dan penyakit bisa datang kapan saja. Tapi beliau bebal dan masih melanjutkannya hingga penyakit ini muncul.

Aku tau rokok bukan satu-satunya penyebab Papa sampai serangan jantung, tapi bisa jadi itu adalah salah satu bagian kecil yang memicu.

"Yuk..." Tante Minah berjalan keluar terlebih dahulu. Hingga beliau berhenti didepan salah satu pintu rawat inap dan membukanya perlahan.

Aku melihat Risti sedang menyuapi Papa dengan makanan yang disediakan rumah sakit.

Papa melihatku dan tersenyum, tangannya yang lemah terangkat dan melambai kecil, memintaku untuk mendekat.

"Anak nggak tau diri, bokap lagi sakit lo malah seneng-seneng di luar kota." Decakan Risti memang terdengar pelan, namun dalam ruangan yang nggak seberapa besar dan dalam kondisi hening tentu suaranya terdengar jelas oleh siapapun.

"Risti..." Tegur Tante Minah.

Aku memegang tangan Papa, sama sekali enggak menatap Risti.

"Papa gimana perasaannya? Udah lebih baik?"

"Lo nggak liat Papa kaya gimana? Lo kemana aja sejak kemarin? Gue email lo dari siang dan lo baru muncul sekarang. Gimana kalau..."

"Bacot lo!" Aku mendesis pelan, niatku kesini bukan untuk berdebat dengan Risti didepan Papa yang sedang terbaring nggak berdaya begini. "Gue bisa jelasin ke Papa kenapa gue tiba-tiba pergi keluar kota kalau lo mau," imbuhku menantang.

Aku jelas nggak akan melakukannya karena takut akan memperparah kondisi Papa mendengar kelakuan anak sulungnya.

Risti terdiam dan menaruh piring berisikan makanan Papa diatas meja besi disamping ranjang, dia langsung keluar tanpa berkata apapun dan aku tau, kali ini aku menang.

"Mai suapin ya Pa?" Tawarku dan mengambil posisi duduk Risti sebelumnya, aku mencoba menyuapi Papa perlahan.

"Maira ada masalah sama Kakak?" Tanya Papa dengan suara terbata dan lirih. Aku menatap Papa sedih. Walaupun ada rasa tidak suka jika mengingat semua perlakuannya pada Mama, tapi dia pernah dan masih menjadi bagian dari hidupku. Laki-laki pertama yang ku cintai dengan begitu tulus, laki-laki yang dulu ku yakini tak akan pernah mengecewakanku, dan satu-satunya orang tuaku yang tersisa.

Dia hanya gagal menjadi suami, tapi sejauh ini tidak pernah gagal menjadi ayah bagiku.

"Biasa lah, Papa nggak usah pikirin aku sama Risti. Sekarang Papa fokus aja sama kesembuhan Papa, jaga makan sama berhenti merokok. Nurut aja apa kata dokter, toh buat kebaikan Papa juga."

Papa mengangguk kecil, beliau sudah nggak mau makan lagi saat sisa makanannya tinggal sedikit. Aku nggak memaksa lagi dan membantunya minum obat kemudian membiarkan Papa untuk istirahat.

"Kamu udah sarapan?" Tanya Tante Minah yang sejak tadi hanya memperhatikan interaksiku dengan Papa.

"Udah di pesawat tadi, Tan... Kalau tante mau makan ya makan aja, biar aku yang jagain Papa."

"Kemarin kemana aja? Kok nomornya nggak aktif."

Aku menatap tante Minah dan menghela nafas pelan.

"Ada urusan keluar kota, Tan."

Wanita paro baya yang kini duduk disofa sederhana seberang posisiku ini jelas bukan orang yang tepat untuk tempat curhatku. Beliau memang orang baik, istri baru papa, ibu tiriku -walaupun aku nggak akan pernah mengakui dia sebagai ibuku, tapi jarak antara aku dan dia memang terbentang sejauh itu hingga dia akan selamanya menjadi orang asing dalam hidupku.

Dan dia nggak akan pernah terlintas dalam pikiranku saat aku butuh tempat cerita.

Bertemu Lewat KataOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz