Part 23

579 154 9
                                    

Dhika menjemputku sebelum jam 3, kali ini dia menggunakan mobil yang berbeda dengan mobil yang dia sebut milik keluarganya tempo hari.

"Mungkin agak macet dikit nanti." Aku mengerti jika jalanan ini nggak akan ada matinya, apalagi hari ini adalah hari sabtu, sebentar lagi orang akan berlomba-lomba keluar untuk menghabiskan malam dengan keluarga atau kekasih mereka.

"Motor lo yang di Surabaya mana?" Aku ingat motor matic yang memboncengku saat aku sedang melarikan diri waktu itu.

"Motor itu udah gue jual, lagian nggak enak kalau gue ajak lo keluar pakai motor."

"Kenapa?"

"Ya... Nggak papa, pengen aja ngajak lo kencan pakai mobil."

Oh, jadi ini kencan?

Aku nggak merespon lebih dan sibuk dengan ponsel, mengecek email karena sudah cukup menumpuk, siapa tau ada yang penting kan?

Notifikasi dukungan banyak yang masuk hingga sekarang. Banyak pembaca yang akhirnya beralih ke platform yang ku gunakan untuk mengejar satu cerita yang masih on going hingga sekarang.

"Lo kalau gue tinggal sebentar nggak papa?" Aku menoleh ke arah Dhika. Kami sudah sampai di mall tempat kami nonton sore ini. "Gue ada perlu ketemu sama bos baru gue, janji bakal balik sebelum film di mulai."

"Kalau lo telat gimana?" Tanyaku.

"Print tiket dulu yuk, biar nanti gue nyusul kalau telat, tapi gue usahain nggak telat sampai sini lagi.".

Sebenarnya agak sebal mendengar Dhika harus pergi padahal kami baru sampai. Tapi aku nggak berhak menahannya disini, apalagi jika urusan pekerjaan.

"Ya udah..." Kami akhirnya langsung menuju lantai dimana bioskop berada. Print tiket yang sudah Dhika beli secara online dan...

"Ngapain sih? Gue ada duit sendiri."

"Pake aja, beli cemilan buat nanti di dalam, gue juga makan kok." Dia memaksa agar aku menerima kartu yang dia sodorkan.

"Dhik, bisa pake duit gue dulu, udah pergi sana, nanti lo di omelin lagi."

"Pegang aja, Mai..." Dia memaksa dan menyelipkan kartu miliknya di dalam tas yang ku gunakan dan berlalu ke lift dengan cepat.

Pada akhirnya aku sendirian di tengah orang-orang yang sibuk memadu kasih.

***

Setengah jam menunggu, pada akhirnya Dhika belum kembali hingga aku masuk ke studio dan duduk dikursi yang dipesan oleh Dhika.

Disebelahku ada beberapa cowok, dan kursi Dhika kosong. Sebelahnya lagi ada sepasang kekasih yang sedang asik berbisik  takut mengganggu pengunjung lainnya.

Gue udah di dalem, lo cepetan kesini atau gue balik sendiri.

Ku kirimkan pesan sebelum akhirnya mengunci layar karena perlahan lampu bioskop mulai meredup dan mati sepenuhnya.

Cahaya yang menyorot hanya berasal dari layar saja.

Sepuluh menit, lima belas menit, Dhika belum juga muncul. Ditambah aku yang kurang nyaman dengan laki-laki disebelahku karena dia beberapa kali mencoba menyentuh lenganku yang tak tertutup apapun karena aku mengenakan kaos dengan lengan pendek.

Aku bangkit dan duduk di kursi yang seharusnya dihuni oleh Dhika, namun siapa sangka kalau laki-laki yang duduk disampingku tadi ikut pindah dua menit setelahnya.

Aku sudah berniat akan bangkit dan keluar, namun tangan laki-laki itu sudah lebih dulu meremas payudaraku dan langsung ku tepis begitu saja.

Pintu exit belum di buka, jadi aku keluar lewat pintu masuk dengan langkah bergetar dan jantung yang berdebar. Antara takut dan marah.

Tanganku mendial nomor seseorang.

"Lo dimana sekarang?"

"Lagi di kantor gue, kenapa?"

"Gue nggak peduli lo lagi sibuk, lo harus ke sini sekarang juga," aku menyebutkan nama mall yang sedang ku kunjungi, "atau kalau lo nggak bisa, lo suruh siapapun kesini, gue nggak peduli."

"Mbak, tenang... Lo kenapa? Cerita dulu."

"Gandhi, gue di lecehin sama cowok anjing nggak punya otak, KESINI NGGAK LO SEKARANG!" aku langsung memutuskan sambungan dan duduk di sofa tunggu.

Laki-laki anjing itu harus tau akibatnya. Dia kira dia siapa bisa seenaknya melecehkan perempuan yang nggak dia kenal.

"Mai... Kamu kok belum masuk."

Aku melihat Dhika baru saja kembali dengan nafas yang terengah, kaos yang dia kenakan juga tampak basah karena keringat. Ingin marah pada Dhika, tapi enggak tega juga.

"Yuk masuk, filmnya pasti udah mulai."

"Najis gue masuk lagi ke sana."

"Kenapa? Lo marah sama gue karena telat? Sorry banget, nyari parkir udah susah banget tadi."

"Dhik, panggilin security sekarang."

"Hah, kenapa?"

"Panggilin aja."

Dhika yang kebingungan langsung memanggil security yang berjaga tak jauh dari posisi ku saat ini.

"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" Tanya si bapak security yang mungkin usianya di awal tiga puluhan.

"Ini film bisa di stop sekarang nggak? Atau gue buat keributan didalam?" Aku yang nggak bisa melampiaskan kemarahan pada siapapun langsung menumpahkannya pada security yang nggak tau apa-apa.

"Kenapa, Mai?"

"Mbak, ada masalah apa?" Tanya si security dan Dhika secara bersamaan.

"Gue dilecehin sama cowok brengsek yang duduk disebelah gue tadi."

Aku dapat melihat bagaimana reaksi Dhika yang langsung terdiam dan rahangnya mengetat seketika. Mataku berkaca-kaca, namun aku segera mengusapnya. Ini bukan saatnya menangis dan bersikap lemah didepan siapapun. Laki-laki sialan itu harus berurusan denganku terlebih dahulu.

"Mbak ada bukti?"

Pertanyaan si security membuatku semakin murka.

"Lo kira gue tau bakal di lecehin?" Aku berteriak cukup kencang hingga beberapa orang yang sedang menunggu film yang akan mereka tonton menoleh dan kami mulai menjadi pusat perhatian. Beberapa crew bioskop juga tampak penasaran.

"Pak, didalam ada CCTV kan? Gue mau akses buat liat sekarang." Dhika langsung menyela dengan nada yang tenang.

"Kami nggak bisa..."

"Anjing... Kasih gue liat atau gue laporin ke polisi!" Dhika tampak bersiap menghajar seseorang.

"Gue udah lapor polisi."

Gandhi datang bersama dua rekan lainnya, dia mengenakan seragam lengkap hingga menjadi pusat perhatian dan membuat orang-orang makin penasaran.

"Lo tenang, Mbak. Gue yang urus."

Bertemu Lewat KataWhere stories live. Discover now