Part 25

600 146 8
                                    

"Mas Dhika emang kaya gitu, Mbak... Udah terima aja."

Perempuan yang memperkenalkan dirinya dengan nama Anya itu adalah adik sepupu Dhika dan kini masih melanjutkan study magister-nya.

"Lo juga mau-mau aja di suruh kesini."

"Waktu dia ngomong, gue langsung penasaran sama lo, mas Dhika udah lama nggak ada hubungan sama cewek, jadi pas tadi dia minta gue buat temenin lo sampai dia datang, gue langsung iya-in tanpa pikir panjang." Anya adalah sosok perempuan cantik yang tingginya mungkin beberapa centi diatasku. Wajahnya kecil dan cantik, Anya memiliki pinggang ramping juga kaki yang jenjang dia juga payudara yang lumayan menonjol hingga Anya kelihatan sexy. Cantik dan Sexy, dua perpaduan yang sempurna.

"Emang selama itu?"

"Setau gue ya... Udah lama."

Anya kelihatan sekali kikuk, mungkin merasa tidak nyaman karena menyangkut masa lalu Dhika. Aku juga nggak memaksa Anya buat cerita karena aku sendiri sudah mengetahui perihal masa lalu Dhika dari orangnya sendiri.

"Lo nggak sambil kerja, Nya?"

"Papa nggak bolehin, bahkan dalam waktu dekat gue bakal di joodohin sama laki-laki yang nggak gue kenal sama sekali," ceritanya dengan wajah yang sedikit lesu.

"Serius? Jaman sekarang masih dijodoh-jodohin?" Untuk beberapa keluarga mungkin masih berlaku masalah perjodohan agar mendapatkan keturunan yang berkualitas.

Namun, di zaman modern seperti saat ini, apakah masih relevan? Apalagi ku lihat keluarga Dhika dan Anya bukan dari keluarga yang ku tau masih melestarikan adat perjodohan anak-anak mereka. Tapi, aku juga tidak mengenal keluarga Dhika sama sekali, jadi tidak tau pasti.

"Yang minta itu Eyang, jadi nggak ada yang bisa nentang."

Aku menghela nafas pelan. Aku masih enggak percaya kalau perempuan secantik Anya hanya akan menikah dengan laki-laki yang dipilihkan keluarga.

"Lo nggak coba ngomong ke keluarga?"

"Buat apa? Nggak bakal di denger, lagian gue liat semua sepupu gue yang dijodohin nggak ada yang failed, mereka semua kelihatan bisa saling menerima bahkan beberapa udah punya anak sekarang."

Mendengar cerita Anya, perjodohan memang sudah seperti tradisi di keluarganya.

"Trus udah ketemu sama calon lo?"

"Belum, nanti waktu ulang tahun gue yang ke dua puluh empat tahun." Walaupun awalnya Anya kelihatan lesu saat bercerita, tapi kini dia sudah kelihatan biasa saja dan nampak terima dengan keputusan yang dibuat oleh keluarganya.

"Kalau Dhika gimana?"

Kini Anya beralih dan menatapku dengan tatapan menggoda yang menyebalkan.

"Eyang udah putus asa sama Mas Dhika, mbak tenang aja, nggak akan ada drama-drama keluarga nggak nerima mbak."

"Nggak jelas lo."

Aku dan Anya banyak mengobrol, pandangan Anya mengenai hidup membuatku merasa kalau Anya bukan anak dua puluh tiga tahun. Dia begitu dewasa dan kelihatan mampu mengontrol emosinya.

Aku jadi penasaran, bagaimana orang tuanya mendidik Anya menjadi gadis yang penurut dan sopan.

Setelah banyak mengobrol dan bertukar pikiran, Anya pulang ketika Dhika datang pukul 3 sore. Tukang-tukang juga sudah pulang dan semua pekerjaan beres. Kini laki-laki itu sedang mengecek semua jendela dan pintu agar aman, juga mengetes smart door lock yang baru saja terpasang.

Aku mengekori Dhika yang berkeliling rumah, dia kelihatan puas dengan hasil kerja tukang yang dia kirim tadi.

"Kirimin nomor rekening lo, gue kirim biaya hari ini."

Aku mengeluarkan hape dari saku celana kulot rumahan yang sedang ku kenakan.

"Nggak usah."

"Dhik, gue nggak mau ngrepotin lo."

"Gue sama sekali nggak merasa di repotin, Maira."

"Nggak, Dhik... Gue nggak mau pakai uang lo, selama gue masih bisa kerja dan berpenghasilan sendiri gue nggak mau..."

"Okay..." Ujar Dhika memotong kalimatku dan akhirnya mengalah.

"Sama nominal pengeluarannya."

"Iya bawel, makan yuk... Gue laper, belum makan siang." Karena dia sudah mengalah dan bersedia mengirimkan nomor rekeningnya, aku juga bersedia di ajak keluar untuk makan siang.

"Mau makan apa?"

***

"Mbak, orang tua pelaku pelecehan itu mau ketemu sama lo, dari kemarin dia mohon-mohon ke gue buat kasih alamat atau nomor telfon lo."

Aku menghela nafas perlahan. Ku kira permasalahan itu sudah selesai di kantor polisi dan aku sudah tidak berurusan dengan laki-laki yang otaknya cuma selangkangan doang, tapi ini malah merembet ke keluarga laki-laki itu.

Pengecut.

"Gue mau mikir dulu, besok gue kasih keputusan mau ketemu apa enggak."

"Oke, mbak."

Sambungan terputus. Aku termenung menatap kearah depan, mobil Dhika masih berkendara keluar dari kemacetan setelah kami makan siang yang kesorean. Harusnya Dhika pesan makanan lewat ojek online saja sehingga kami nggak perlu terjebak di jalanan seperti ini.

"Kenapa bengong?"

"Gandhi ngabarin, kalau keluarga pelaku mau ketemu gue."

"Trus lo mau gimana? Atau mau sewa pengacara aja biar masalahnya cepet kelar?" Sewa pengacara kedengaran jadi ide yang bagus dari pada harus ribet seperti ini.

Tapi mengingat pelaku juga sama sekali enggak mengelak atas apa yang dilakukannya, menyewa pengacara jadi terlalu berlebihan untukku.

"Kalau lo mau, adek gue bisa dampingin, dia biasa ngurusin kasus kaya gini, sesama cewek pasti lebih saling mengerti."

"Adek lo pengacara?" Dhika mengangguk tegas dan fokus pada jalanan yang mulai lancar. Kami memasuki komplek perumahan ku dan nggak butuh waktu lama untuk sampai didepan gerbang rumahku yang sederhana.

"Besok gue baru mulai kerja lagi, dan nggak bisa temenin kalau lo mau ketemu sama mereka. Seenggaknya lo bisa datang sama Cici, kalau nggak sebagai pengacara lo, Cici bisa dampingin sebagai temen yang ngerti hukum."

Kami belum keluar dari mobil saat Dhika masih berusaha mencoba membujukku.

"Gue sendiri aja dulu ya... Ada Gandhi juga disana."

Kami saling bertatapan sebentar, Dhika pada akhirnya mengangguk setuju.

"Kalau ada apa-apa langsung telfon gue."


Bertemu Lewat KataWhere stories live. Discover now