Part 5

748 148 1
                                    

Setelah mendapatkan sim card baru, aku mulai merencanakan liburan dadakan yang ku pikir adalah obat dari patah hatiku. Ah... Ini bukan obat. Aku hanya sedang melarikan diri, menenggelamkan hatiku dan membiarkan aku bebas bergerak tanpa perlu mengingat perbuatan mantan kekasih juga kakak kandungku sendiri.

Aku mengira aku bisa berjalan-jalan dengan bebas bermodal nekat. Tapi ternyata enggak modal nekat saja nggak cukup membuatku beranjak dari kamar ini, hingga matahari terbenam aku hanya duduk di balkon kamar hotel sambil menikmati minuman kaleng yang ku beli di mini market saat membeli sim card tadi.

Aku sudah bolak balik mengecek di google, mencari rekomendasi tempat liburan yang sekiranya cocok untukku menghabiskan waktu. Tapi ternyata rasa malas menggelayuti kakiku hingga aku kembali ke kamar hotel dan menghabiskan hari di tempat ini.

Memang pada dasarnya aku nggak begitu suka main, jadi ya mau gimana?

Tepat setelah matahari terbenam, aku memutuskan untuk mengirimkan pesan pada Dhika. Narasumber sekaligus teman online yang ku kenal tinggal di kota ini.

Dhik, gue lagi di SBY nih.

Sekedar itu. Biasanya Dhika nggak langsung balas atau dia akan membalas pesanku besok paginya. Tapi tumben sekali dalam hitungan menit balasan pesan yang ku kirim muncul.

Lagi dimana? Gue kesitu.

Aku langsung memberikan alamat hotelku tanpa pikir panjang. Dhika... Aku hanya tau wajahnya lewat foto yang beberapa kali dia posting di akun instagramnya, kebanyakan dia mengunggah foto bersama teman atau rekan kerja. Jarang ada foto dia sendiri.

Kami nggak pernah melakukan komunikasi lewat video call, dulu waktu aku sedang menggarap novelku yang terinspirasi dari kisah cintanya, kami beberapa kali saling menelfon, lebih tepatnya aku yang menelfonnya untuk bertanya beberapa hal penting yang kiranya nggak bisa di bahas lewat pesan singkat.

Hingga buku itu selesai, kami masih berkomunikasi dengan baik walaupun intensitas komunikasi antara aku dengan dia tak sesering dulu.

Oke, gw otw.
Mau dibawain apa?

Aku menolak dibawakan sesuatu, karena aku ingin bertemu dia di cafe yang nggak jauh dari hotel ini. Sekalian makan malam.

Dia langsung setuju dan bilang kalau dia akan on the way setelah pulang kerja nanti. Setengah jam lagi katanya.

Oke.

Balasku seraya menutup laptop yang sejak tadi ada di pangkuanku. Aku beranjak dari tempatku duduk untuk mandi dan menyiapkan pakaian yang kiranya cocok dan nggak berlebihan untuk bertemu dengan orang baru.

Eh... Apakah Dhika termasuk orang baru?

***

Aku dan Dhika baru bertemu setelah satu setengah jam setelah kami janjian lewat chat. Ternyata tempat kerja Dhika cukup jauh dari hotelku sampai dia harus rela berkendara menggunakan motor agar tidak terjebak macet terlalu lama.

Dhika seperti yang aku lihat lewat foto disosial medianya. Dia lumayan tinggi dan putih -bahkan lebih putih dari warna kulitku, dan mengenakan kacamata. Yang ku tau, dia bekerja di balik komputer selama berjam-jam bahkan di rumah pun begitu, jadi wajar dia mengenakan kacamata.

"Sorry ya, lama banget." Suaranya agak berbeda dengan yang ku dengar lewat telfon beberapa tahun yang lalu.

"It's okay, salah gue juga ngajakin lo ketemu pas weekdays gini."

Kami akhirnya memesan makan malam sekaligus cemilan. Pesanan Dhika lumayan banyak hingga aku geleng-geleng sendiri melihatnya.

"Sorry, gue belum makan dari siang." Dia kelihatan malu, tapi aku cuma menggeleng nggak masalah.

Aku pernah bekerja di perusahaan setelah lulus kuliah dan hanya bertahan 2 tahun hingga aku memutuskan untuk banting stir, menekuni hobi untuk menghidupi diri.

"Liburan di sini?" Tanyanya seraya melepas kacamata yang dia kenakan, kemudian mengacak rambutnya asal dan melepas beberapa kancing kemejanya.

Mungkin karena sebuah kebiasaan riset, aku memperhatikan setiap detail pergerakan Dhika. Dan dia sangat sesuai dengan tokoh fiksi yang ku ciptakan beberapa tahun yang lalu.

"Maybe, melarikan diri lebih tepatnya."

"Dari?"

Aku menggeleng kecil, obrolan kami terhenti saat waiters mengantarkan minuman pesanan kami.

"Penat aja, pengen suasana baru." Nggak mungkin aku ngomong kalau aku baru saja di khianati oleh kekasih dan kakak kandungku sendiri. Menyedihkan.

"Biasanya orang kalau lagi penat ke bali, atau lombok, kenapa Surabaya?" Pertanyaannya membuatku berpikir. Bali tentu terlalu mainstream dan orang bisa menebak aku ada disana, Lombok? Nggak terpikirkan sama sekali.

Aku menggedikkan bahu, "Nggak tau, gue emang nggak punya tujuan aja dan akhirnya terdampar disini. Untung punya kenalan," kataku diakhiri dengan tawa kecil.

"Lagian dari sini ke Bali, gue tinggal nyebrang doang kan?"

Dhika tertawa, "Lo harus menempuh jalur darat selama kurang lebih 6-7 jam buat sampai pelabuhan doang, lo beneran nggak ada persiapan yah?" Senyum geli masih tersisa diwajahnya.

"Gue emang parah banget kalau soal begituan, ya udah lah... Lagian cuma di hotel doang juga nggak masalah buat gue."

Makanan kami datang, Dhika kelihatan lahap sekali makan makanan pesanannya. Dia sama sekali nggak kelihatan jaim didepanku, kami benar-benar seperti teman lama yang akhirnya bertemu lagi.

Jika di perhatikan dengan seksama, Dhika sama sekali jauh dari yang aku bayangkan. Dulu, saat pertama kali saling mengenal dan pertama kalinya dia menceritakan kisah cintanya yang berujung maut, aku membayangkan sosok laki-laki yang telah kehilangan semangat hidup, tak terawat, dan selalu punya sorot mata yang sedih dan sendu.

Tapi melihat Dhika langsung, aku melihat dia baik-baik saja, matanya selalu berbinar ketika berbicara dengan orang lain. Dia nggak kelihatan seperti orang yang memiliki kenangan buruk juga kehilangan yang besar.

"Kenapa?" Tanya Dhika saat memergokiku yang sedang memperhatikan setiap sudut wajahnya.

"Nggak papa, lo udah? Mau pesen desert?"

Dan aku sadar, Dhika hanya menyimpan kesedihan itu untuk dirinya sendiri. Tidak membiarkan orang lain menatapnya iba atau prihatin.

Bisa jadi dia telah berhasil melewati kesedihannya dan telah berdamai dengan dirinya sendiri.

Bertemu Lewat KataWhere stories live. Discover now