#34: Ribuan maaf

217 107 43
                                    




Detik yang meramu menjadi menit hingga malam berganti fajar, tak mampu membuang jauh rasa bersalahnya. Tanda tanya yang kian berkecamuk di kepala, kicauan mereka yang terdengar menghakimi membuatnya semakin merasa kecil. Lantas berapa kali ribu maaf lagi yang harus ia pinta, atas apa yang tidak ia perbuat.

Rasa bersalah kian menusuknya tanpa peduli. Meski telah ia coba, nyatanya rela bukan suatu hal yang mudah. Ibarat rasa yang dapat cecap oleh lidah, rasa pahit dan getir yang paling mendominasi kala ia mengecup lara. Pernah ia basuh dengan menghadirkan tawa, tapi rasa itu terasa makin pekat tak mau meninggalkannya.

Hembusan angin membuatnya semakin beresir. Luka yang belum juga terobati, harus kembali membuat lara. Bukan ia tak mau berhenti bermimpi, tapi sudut hatinya masih tak mau pergi. Meski sudah hampir dibuat mati rasa, ada sesuatu yang masih ingin tinggal. Berdalih rindu kemudian menyiksa menyikapi dengan terpaksa.

Gebi masih terdiam, berdiri mematung dengan mata yang menatap ke bawah sana. Sebenarnya ia ingin menemui Rain tetapi kedatangan Daniel membuatnya mengurungkan niatnya. Ia hanya ingin meminta maaf secara pribadi, dan berbicang empat mata dengan Rain. Gebi membuang napasnya, masih belum bisa berdamai dengan dirinya sendiri.

Pengakuan Graceilla diruang rapat hari itu, benar-benar diluar nalar. Mereka dibuat tercengang oleh kakaknya yang sangat nekat. Sepulang dari sekolahnya, mamah-nya hanya diam. Bahkan mamah-nya lebih menyibukkan diri, daripada berkumpul dengan putrinya. Grace mengaku bahwa teror itu bermula ketika melihat berkas-berkas di ruang kerja mamahnya. Kebetulan mamah-nya seorang jurnalis yang mengumpulkan berita tentang kecelakaan pesawat yang terjadi beberapa tahun lalu. Grace juga mengaku mengambil foto kakak Rain yang bunuh diri dari berkas milik mamahnya. Saat itu Grace tidak sengaja melihat berkas itu dan membacanya lalu menelusuri berita tersebut. Mengetahui bahwa Rain merupakan salah satu korban kecelakaan pesawat itu, muncul niat untuk meneror Rain. Dengan dibantu Alin, Grace melancarkan aksinya.

Akibat dari semua itu, pihak sekolah mengeluarkan surat peringatan untuknya. Namun atas kebaikan orang tua Rain, ia tidak jadi dikeluarkan dari sekolah. Ia mendapat skorsing selama satu Minggu dan hukuman disiplin. Masalah ini sangat rumit, karena perbuatan Grace, orang tua Rain bisa saja membawa kasus ini ke ranah hukum. Hal itu dapat membuat pekerjaan mamah-nya bisa terancam. Bukan hanya itu, bisa juga dirinya terancam tidak diterima oleh universitas mana pun. Mamah-nya sempat mengadakan pertemuan dengan kelurga Rain beberapa hari lalu, untuk berterima kasih atas kebaikan hati mereka. Mereka mengatakan tidak akan memperpanjang masalah ini. Mereka juga mengatakan bahwa mereka lebih baik fokus dengan kesehatan mental Rain yang beberapa waktu sempat down.

Tak hanya dirinya yang mendapat hukuman dari pihak sekolah, Alin juga diskorsing selama satu Minggu karena membantu Grace melakukan teror. Ia sangat bersyukur, baik dirinya maupun Alin tidak dikeluarkan dari sekolah.

Gebi langsung bergegas menghampiri Rain ketika Daniel pergi. Ini kesempatan terakhirnya untuk berbicara dengan Rain sebelum gadis itu pergi.

"Rain!"

Rain menoleh, ia menatap Gebi yang melambaikan tangannya dari lantai dua. Ia juga berjalan mendekati Gebi yang berlarian menghampirinya.

"Rain, gue mau ngomong."

"iya, ngomong apa?"

"Rain, gue minta maaf ya atas nama Grace, gue juga minta maaf dari gue pribadi juga Alin."

Rain tersenyum kecil, Gebi terlihat sangat tulus mengatakannya. Ini bukan perdana Gebi meminta maaf padanya, padahal ia sudah mengikhlaskan apa yang telah terjadi.

"Gue udah maafin kok, kemarin Lo juga udah minta maaf."

"Makasih banget Rain, gue nggak tahu kalau Lo nggak mohon ke orang tua Lo, mungkin masalah ini sudah dibawa ke pengadilan. mungkin gue sama Alin nggak bisa sekolah disini lagi."

Pesawat Kertas Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang